Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan Dien yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua Dien. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. 48:28)


A. PENGERTIAN “AD DIEN”

Makna Ad Dien الدين yang diterjemahkan Departemen Agama RI adalah AGAMA. Sedangkan agama berasal dari bahasa sansekerta (bukan bahasa Arab) yang terdiri dari dua kata A (tidak) dan Gama (kocar-kacir/kacau balau). Jadi secara bahasa, agama artinya tidak kocar-kacir, atau tidak kacau balau. Jika disatukan dengan kata Islam, memiliki arti tidak kacau balau Islam (Agama Islam), dan ini sangatlah aneh jika kita pahami seperti itu. Namun keunggulan bahasa Arab dibanding dengan bahasa lain ialah satu kata dapat memiliki makna/arti yang sangat beragam.

Dien secara lughoh adalah:

1. Ketaatan dan Ketundukan kepada hukum yang mutlak (Qs. 16:52, 40:65, 3:83)
2. Dienul Malik (Aturan/ UUD Kerajaan ) (Qs. 12:76)
3. Tanggungjawab/ Pembalasan (Qs. 1:4)

Sedangkan Dien menurut syara’ adalah:

“Ad Dien adalah apa-apa yang diisyari’atkan Allah SWT dengan taushiyah para rasul-Nya dan Dia adalah Fitrahnya yang telah menciptakan manusia dengannya untuk keselamatan mereka di dunia dan di akhirat dengan ridhanya”. Pahami Qs. 42:13, 30:30, 26:21, 49:16, 3:19

B. UNSUR-UNSUR “AD DIEN”


Unsur-unsur Ad Dien ada 3:

1. Hukum(Law), sebagai wujud kongkrit dari eksistensinya “Rububiyyah Allah” di alam semesta ini
2. Daar (Negeri)(State), sebagai wujud kongkrit dari eksistensinya “Mulkiyyah Allah” di kerajaan bumi ini
3. Jama’ah/ Ummat(People), sebagai wujud kongkrit dari eksistensinya “Uluhiyyah Allah” dengan hanya memurnikan pengabdian kepada Allah semata.

"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". (QS. 1:5)

C. KLASIFIKASI “AD DIEN”

Klasifikasi Dien terbagi menjadi 2 yakni:

1) Dienul Haq


Allah SWT. telah mensyari’atkan sejak Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW hingga sampai saat ini yakni Penegakkan Dienul Islam dan Jangan Berpecah Belah.

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang dien apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah Dien dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. 42:13)

Dienul haq adalah Dien Allah melalui perantara rasul-rasul-Nya yang telah disempurnakan pada masa Rasulullah Muhammad Saw, sebagai Nabi-Nya yang terakhir. Dienul Haq juga disebut dienul Islam atau dienullah. Atau dengan istilah lain, dienul haq adalah dien tauhid yang diisyariatkan Allah dengan kitab-Nya untuk keselamatan manusia atas fitrah dan lingkungannya.

"... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu dien-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi dien bagimu..." (QS. 5:3)

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan Dien yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua dien.." (QS. 1:28)


2) Dienul Bathil

Dienul bathil adalah Dien Thoghut (setan) melalui perantara pengikut-pengikut-Nya yang terdiri dari golongan jin dan manusia yang tidak mengakui atau menerima dienullah sebagai jalan hidupnya. Dien bathil disebut juga dienul kafir atau dienul jahiliyyah. Atau dengan istilah lain, dienul bathil adalah dien musyrik yang disyariatkan orang-orang kafir dengan hawa nafsu dan angan-angannya untuk merusak fitrah manusia dan keseimbangan lingkungan demi tujuan-tujuan duniawi.

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. 4:60)

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thoghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman." (QS. 4:51)

"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." (QS. 72:6)

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. 45:43)

Andaikata Islam dimaknakan agama, lalu mereka yang menjadikan dien bathil sebagai jalan hidupnya serta mengangkat pemimpin melalui mekanisme dien bathil, maka tidak dapat dikatakan mereka beragama Islam, meskipun mereka menjalankan ibadah yang bersifat ritual seperti sholat, puasa, dan haji. Karena para penganut dan pengikut paham dien bathil hanya mengakui eksistensi Allah sebagai Dzat yang diagungkan di langit, namun menolak pengagungan dien Allah di bumi.

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan : 'Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)', serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan." (QS. 4:150-151)

Inilah wasilah (sarana/ cara) untuk bertakwa kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. 5:35)

D. SIKAP KITA TERHADAP DIENUL HAQ (ISLAM)

1. Mengizharkannya diatas yang lain (9:33, 48:28, 61:10)


“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”. (QS. 9:33)

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi”. (QS. 48:28)

2. Menegakkannya (QS. 42:13)

D. KAIFIYAT IQOMATUD DIEN DAN IZHARUD DIEN


Setelah memahami ma’rifatullah maka akhirnya kita telah mengetahui syari’at Allah. Unsur-unsur syari’at tersebut adalah Rububiyyah, Mulkiyyah dan Uluhiyyah.

1) Rububiyyah

Untuk mewujudkan eksistensi Rububiyyah Allah di alam semesta ini maka yang harus dilakukan adalah TABLIGH yaitu Usaha menunjukkan jalan (5:67) = سَعْيٌ لِهِدَايَةِ الصِّرَاطِ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia . Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. 5:67)

Tabligh ini bisa berupa kabar gembira (tabsyir) dan berupa peringatan (indzar). Tabsyir ini bisa melalui proses ta’lim (keilmuan), sedangkan indzar bisa melalui proses tahkim (pemberian sangsi hukum). Inilah sarana (shirot) untuk menuju petunjuk (Shirotol mustaqim) yang baik (ma’ruf), perintah Allah (amru) untuk dilaksanakan (imtitsal) melalui perbuatan (fi’lun) yang kokoh/ teguh (itsbat). Jangan sampai kita menuju Shirotol jahim yang rusak (munkar), dilarang Allah (Nahyu) dan harus menjauhinya (Ijtinabu) dengan cara meninggalkannya (tarku). Inilah yang harus senantiasa disampaikan dan aplikasikan oleh seorang MUBALLIGH.

2) Mulkiyyah

Untuk mewujudkan eksistensi Mulkiyyah Allah di kerajaan bumi ini maka yang harus ditempuh adalah JIHAD sebagai Gerakan mengamankan jalan (9:122, 8:74) = ضَرْبٌ لِحِمَايَةِ السَّبِيْلِ

“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. 9:122)

“dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia”. (QS. 8:74)


JIHAD ini bisa berupa seruan (dakwah, 9:122) dan tempur/ perang (qital, 8:74). Dakwah ini berupa proses pemahaman Dien (tafaqqoh) yang berupa keilmuan. Sedangkan Qital berupa mobilisasi (nufur) yang berupa perbuatan yakni penggalangan kekuatan. Inilah sarana/ wadah (Sabilillah) menuju mardhotillah yang ma’ruf, perintah Allah (amru) untuk dilaksanakan (imtitsal) melalui perbuatan (fi’lun) yang kokoh/ teguh (itsbat). Jangan sampai kita menuju sabilith thoghut yang rusak (munkar), dilarang Allah (Nahyu) dan harus menjauhinya (Ijtinabu) dengan cara meninggalkannya (tarku). Inilah yang harus senantiasa disampaikan dan aplikasikan oleh seorang MUJAHID.

3) Uluhiyyah

Untuk mewujudkan eksistensi Uluhiyyah Allah sebagai satu-satunya pengabdian maka yang harus ditempuh adalah TAUHID sebagai Pengayoman untuk membina jalan (98:5) = رَاْيٌ لِبِنَايَةِ الطَّرِيْقِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS. 98:5)

Tauhid ini ditujukan kepada Ummat dan Jama’ah. Tauhid yang dimiliki ummat yakni dengan memurnikan (ikhlash) pengabdiannya hanya kepada Allah melalui pemahan keilmuan. Adapun tauhid yang dimiliki jama’ah (institusi) dengan adanya kepemimpinan (Imamah) sehingga hukum Allah (Al Quran) sebagai sumber hukum dapat diaplikasikan melalui ketetapan-ketetapan Imam. Inilah sarana menuju “jannah” (Thoriqul Jannah) yang ma’ruf, perintah Allah (amru) untuk dilaksanakan (imtitsal) melalui perbuatan (fi’lun) yang kokoh/ teguh (itsbat). Jangan sampai kita menuju Thoriqul Jahannam yang rusak (munkar), dilarang Allah (Nahyu) dan harus menjauhinya (Ijtinabu) dengan cara meninggalkannya (tarku). Inilah yang harus senantiasa disampaikan dan aplikasikan oleh seorang MUWAHHID.

Wallahu a’lam bish showab.....

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, tentang latar belakang turunnya (asbabun nuzul) Surat Al Mudattsir ayat 18-25.

Walid bin Mughirah adalah seorang pakar dan cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Dia adalah salah seorang tokoh utama kaum Quraiys di Makkah. Dia adalah salah seorang hakim masyarakat Arab sebelum Islam yang dibawa Rasulullah SAW datang. Dia adalah salah seorang pemimpin Quraisy di Darun Nadwah ("Lembaga Majelis Permusyawaratan" kalu sekarang MPR). Pendek kata, dia adalah salah seorang tokoh papan atas di kalangan kaum Quraiys.

Ia penasaran mendengar masyarakat membicarakan tentang Muhammad dan ajaran yang dibawanya. Suatu hari, ia datang ke tempat tinggal Nabi, sedang beliau saat tengah melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur'an. Maka Walid mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat apa yang beliau bacakan. Setelah usai, pulanglah Walid menemui kaumnya dari Bani Mahzum.

Walid berkata: "Demi Allah, baru saja aku telah mendengarkan perkataan-perkataan Muhammad. Menurutku itu bukan perkataan manusia biasa dan juga bukan dari Jin. Demi Allah, sungguh perkataannya sangat manis, susunan katanya sangat indah, buahnya sangat lebat dan akarnya sangat subur. Sungguh perkataannya sangat agung dan tidak ada yang mampu menandingi keagungannya".

Sejak itu, orang-orang Qurays ramai membicarakannya dan melaporkannya kepada Abu Jahal. Mereka menyebut bahwa Walid telah keluar dari agamanya, dan pasti akan diikuti oleh orang-orang Qurays lainnya. Setelah mendengar penjelasan mereka, Abu jahal berjanji kepada mereka: "Aku akan membereskannya". Abu Jahal kemudian mendatangi Walid dan duduk disampingnya dengan perasaan penuh kecemasan. Walid berkata: "Mengapa engkau seperti orang ketakutan seperti itu, wahai anak saudaraku?" Abu Jahal menjawab: "Bagaimana saya tidak ketakutan wahai paman, orang-orang Qurays pada mengumpulkan harta benda mereka untuk diberikan kepadamu, karena engkau telah mendatangi Muhammad".

Mendengar hal itu, Walid merasa terhina dan marah. Ia berkata: "Bukankah mereka tahu bahwa aku memiliki harta dan anak-anak lebih banyak dibandingkan mereka semua?" Abu Jahal menjawab: "Jika demikian, sudilah kiranya paman mengatakan tentang Muhammad yang menunjukkan bahwa engkau sebenarnya mengingkari dan membencinya. Sampaikanlah wahai paman sikap itu dihadapan kaummu!"

Walid bersama Abu Jahal kemudian mendatangi tempat orang-orang Qurays berkumpul. Sesampai dihadapan mereka, Walid berkata: "Wahai kaumku, kalian mengatakan bahwa Muhammad itu gila. Apakah kalian pernah melihat Muhammad berbicara sendiri?" Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah!". Walid melanjutkan: "Kalian mengatakan bahwa Muhammad itu adalah dukun (kahin). Apakah kalian pernah melihat Muhammad melakukan praktek perdukunan?" Merekapun menjawab: "Tidak pernah!". Walid bertanya lagi: "Kalian mengatakan bahwa yang dikatakan Muhammad itu adalah syair(puisi). Apakah kalian pernah melihat Muhammad membuat syair?" Mereka menjawab: "Juga tidak". Lagi Walid bertanya untuk ke sekian kalinya: "Kalian mengatakan bahwa Muhammad itu pendusta. Apakah kalian pernah mengetahui Muhammad berdusta?" Mereka juga menjawab: "Demi Allah, tidak pernah sekalipun!". "Lalu, kalau demikian apakah yang diucapkan oleh Muhammad itu?"

Walid terdiam dan kebingungan. Ia minta untuk diberikan kesempatan untuk berfikir dan menyendiri. Beberapa saat kemudian, Walid bin Mughirah kembali dan mengatakan dihadapan kaumnya: "Itu semua tidak lain adalah sihir yang dipelajari dari orang-orang dahulu!". Bukankah kalian mengatakan bahwa ucapan Muhammad dapat memisahkan seseorang dengan keluarganya, suami dengan istrinya dan orang tua dengan anak-anaknya?"

Note :

Yang dilakukan oleh para cendikiawan dan pembesar Qurays ini merupakan kejahilan besar yang tidak dapat ditolelir. Mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah. Pada dasarnya kaum Qurays itu sebenarnya telah mengenal Allah sebagai Rabb (Pengatur/ Pendidik/ Pembina/ Penata) dan Ma’bud/ Ilah (Yang diibadati/ pengabdian), dan bahkan kaum jahiliyah arab ini selalu melakukan haji di tiap tahunnya karena mereka keturunan millah ibrahim (islam) tetapi mereka menolak menjadikan Allah sebagai MALIK = Raja/ Penguasa/ Pemilik (yang wujud konkritnya dibawa oleh Rasulullah SAW). Merekapun tahu bahwa sesungguhnya Al-qur'an itu adalah kebenaran dari Allah, bukan kata-kata Muhammad; tetapi mereka berpaling dan mengingkarinya. Bahkan mereka mempengaruhi orang lain untuk mengingkarinya, dengan berbagai hujjah yang mereka buat-buat. Mereka sesungguhnya tahu kebenaran tapi tidak mau mengakuinya, mereka orang-orang sesat dan menyesatkan. Maka kelompok ini tidak dapat dimaafkan oleh Allah SWT, sehingga diabadikan pengingkaran serta kesombongan mereka dalam Al-Qur'an, sebagai pelajaran bagi ummat setelahnya.

Lalu kondisi umat islam Indonesia sekarang?

“Sesungguhnya Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing” (HR Muslim).

Dar hari ke hari makin banyak pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan kepada saya, termasuk pertanyaan dibawah ini:

Tanya:

Apa perbedaan antara pengertian jiwa kebangsaan yang disebut “ashobiyyah” dengan pengakuan sebagai bangsa?”

Jawab:

Jiwa kebangsaan yang disebut ashobiyah ialah yang mengandung arti cinta terhadap satu bangsa, hanya karena sebangsa dengan dirinya, tanpa memperdulikan salah atau benar. Jadi, orang yang berperang membela kebangsaan (Ashobiyah), artinya bahwa yang menjadi dasar utama bagi dirinya berperangnya itu ialah karena bangsanya sedang berperang dengan bangsa lain, sehingga dirinya berpihak kepada bangsanya itu dengan tidak memperdulikan mana yang salah dan mana yang benar. Dalam arti lain bahwa berperang nya itu bukan karena membela kebenaran (hukum) dari Allah. Pengertiannya, meskipun bangsanya itu dalam posisi yang salah, namun tetap dibela, karena satu bangsa. Sebaliknya, walaupun dalam posisi yang benar (haq), namun karena tidak sebangsa, maka diperanginya. Itulah yang dimaksud “Ashobiyah”.

Maka, pantaslah mereka yang telah berperang mengusir bangsa asing, merasa puas walau hasilnya masih saja hukum-hukum kafir warisan bangsa asing. Hal itulah yang dimaksud oleh hadist mengenai yang mati karena Ashobiyah. Perhatikan sabda Nabi Saw:

“Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada kebangsaan. Dan bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena kebangsaan. Dan tidak juga termasuk golongan kami yang mati karena kebangsaan.” (HR Abu Daud).

Adapun “pengakuan sebagai bangsa”, yaitu sekedar menyatakan diri sebagai salah satu dari bangsa yang ada. Hal sedemikian merupakan keharusan dengan tujuan menjelaskan. Sebab, tidak benar sebagai Bangsa Indonesia jika mengakukan dirinya Bangsa Belanda atau bangsa lainnya.

Soal pengakuan sebagai bangsa diantara banyak bangsa dijamin keberadaannya. Sebagaimana dikemukakan dalam ayat yang bunyinya:

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S.49:13).

Dari ayat di atas itu dimengerti bahwa adanya pengakuan sebagai bangsa supaya bangsa lainnya mengenal, atau bisa saling kenal mengenal adalah suatu kepastian. Dalam ayat itu disebutkan bahwa ukuran yang paling mulia adalah taqwanya kepada Allah. Dengan demikian tidak boleh salah atau benar adalah bangsa sendiri lalu dibela. Kalau asal bangsa sendiri biar salah lalu dibela, maka itulah Ashobiyah.


Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thoghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. An-Nahl: 36)

1. Para rasul diutus Allah agar umatnya men-tauhid-kan Allah dan menjauhi Thoghut. Mari kita renungkan arti kata menjauhi اجتنب (ijtanaba). Waijtanibuu; Dan Jauhilah! Misalnya kita sedang melihat ada bangunan yang sedang dilalap api, lalu karena penasaran maka kita beranikan diri untuk mendekatinya, kemudian ada yang berteriak," Hei jangan dekat-dekat api nanti kamu terbakar!" Kalimat ini menyuruh kita untuk menjauhi api tersebut agar kita tidak ikut terbakar dan hangus seperti bangunan tersebut, atau minimal kita akan merasakan panasnya api tersebut. Tapi ada orang yang berani untuk mendekati api yang sedang berkobar melalap bangunan, siapakah? Yakni Petugas Pemadam Kebakaran yang telah terlatih untuk ditugaskan menjinakkan api. Lalu apa yang terjadi jika tidak ada PMK? Dapat dipastikan api akan menjalar dengan cepat ke bangunan yang lain. Dan semakin lama api itu padam maka kerusakan dan kerugian yang diakibatkan akan semakin besar.

Itulah mengapa Allah mengutus para rasul agar umatnya menjauhi thoghut, karena menjauhi thoghut merupakan bagian dari ketauhidan kepada Allah; walaqad ba'atsnaa fii kulli ummatin rasuulan ani u'buduullaaha waijtanibuuhthaaghuut. Karena umat yang mendekatkan diri kepada thoghut adalah umat yang rusak, umat yang butuh pertolongan, dan umat yang tidak mentauhidkan Allah. Waijtanibuu; Dan Jauhilah! Sering para orang tua berkata, "Lebih baik kamu jauhi berteman/dekat dengan dia". Mengapa orang tua melarang anaknya untuk menjauhi anaknya berteman dengan si fulan? Karena orang tua itu "khawatir", khawatir perilaku si anak akan menyerupai temannya tersebut (lihat QS. 25:27-28). Khawatir disini dimaknai sebagai suatu bentuk kasih sayang. Lalu mengapa Allah mengutus rasul-rasulnya? Karena Allah khawatir umat para rasul tidak mentauhidkan diri-Nya dengan cara mendekati Thoghut, dan sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada umat para rasul. Apakah bisa masuk surga orang-orang yang tidak mentauhidkan Allah? Apakah itu bukan bentuk kemusyrikan? (lihat QS. 4:48, 31:13).

2. Man hadaallaahu waminhumman haqqat 'alayhidhdhalaalah; Maka siapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan di antara mereka siapa pula yang pasti tersesat. Di antara umat para rasul ada yang diberi petunjuk untuk menjauhi thoghut dan ada pula yang tersesat karena tidak menjauhi thoghut. Lawan kata dari petunjuk = هداية hidaayatun/hidayah adalah الضالين (adl-dlaalliin) = yang tersesat. Kata "Man" untuk menegaskan siapa yang telah menerima hidayah Allah dengan cara menjauhi thoghut. Maka siapa yang menjauhi thoghut itulah orang yang diberi hidayah oleh Allah, orang yang mentauhidkan Allah. Lalu siapa yang mendekati Thoghut maka itulah orang yang sudah pasti tersesat, karena tidak mentauhidkan Allah.

3. Fasiiruu fiil-ardhi fanzhuruu kayfa kaana 'aaqibatulmukadzdzibiin; Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikan bagaimana akibatnya orang-orang yang berdusta. Allah menyuruh kita untuk memperhatikan, melihat dengan seksama/teliti (fanzhuruu) akibat dari orang-orang yang berdusta/ingkar/khianat kepada rasul-rasul. Maka orang yang mendekatkan diri kepada thoghut adalah orang ingkar kepada rasul-Nya, orang yang tidak mau menerima petunjuk Allah melalui rasul-Nya. Apa akibat yang dihasilkan orang-orang yang mendustakan para rasul? Fasiiruu fiil-ardh (berjalanlah kamu di muka bumi!).

Dan banyak kerusakan lainnya -di segala aspek- akibat mendustakan rasul-rasul- dengan tidak mengingkari thoghut, mendekatkan diri kepada thoghut, menjadi bagian dari thoghut, dan menjadi thoghut itu sendiri.

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Mâ`idah : 33)

Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Segala bentuk kerusakan yang terjadi di dunia saat ini merupakan efek domino dari eksistensi thoghut. Seminar-seminar atau kampanye-kampanye yang diusung oleh para aktivis dengan tujuan untuk mengadakan perbaikan di satu bidang tertentu, ibarat menyibukkan diri untuk menghilangkan asap. Padahal tidak ada asap tanpa adanya eksistensi wujud api. Seberapapun kuatnya tekad dan usaha mereka untuk menghilangkan asap, maka asap tersebut akan hilang dalam periode yang relatif sangat singkat, dan setelah itu akan muncul kembali dengan asap yang lebih besar seiring dengan menjalarnya api. Meskipun panas lagi membahayakan, mau tidak mau api tersebut haruslah padam sebelum ia meluas dan semakin membesar hingga semakin sulit untuk dipadamkan.

A. PENGERTIAN

Di dalam dunia Pewayangan Jawa, terdapat tokoh wayang yang bernama Togog/Thogo. Wayang Togog digambarkan dengan perut yang buncit berperawakan pendek, bermata juling, mulutnya tonggos hampir menyerupai paruh bebek, ompong, botak, rambutnya hanya sedikit di sekitar tengkuk, suaranya besar. Biasanya para dalang wayang jika menyuarakan suara togog dengan cara suara dalam leher dibesarkan. Pakainnya batik jenis kain slobog, bersenjatakan keris dan wedung serta memakai gelang. Nama lain Togog adalah Ki Lurah Wijayamantri, saudara tua dari Ki Lurah Semar, oleh sebab itu biasanya Ki Lurah Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togog. Tokoh Togog dalam pewayangan diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang menyiarkan Islam di tanah Jawa melalui pendekatan kesenian dan budaya.

Kata Togog diambil dari bahasa arab "thogho" yang berarti melampaui batas, sama halnya dengan kata thoghut (bentuk jamak). Peranan Togog dalam lakon pewayangan selalu menghamba kepada Rajanya Raksasa yang jahat, yang didalam istilah pedalangan disebut “Bala Kiwa” yang artinya “Golongan Kiri”. Di dalam Al-Qur`an istilah golongan kiri disebut “Ashabusy Syimal”, yang dijelaskan dalam surat Al-Waqiah ayat 41:


Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu?

Dalam surat Al-Waqi`ah (56: 41-87) dijelaskan perilaku-perilaku dari Ashabusy Syima sebagai berikut:

1. Hidup bermewah-mewah
2. Terus menerus melakukan dosa besar
3. Tidak mensyukuri nikmat Allah
4. Meremehkan Al-Qur`an
5. Mendustakan Allah
6. Jauh dari Allah.


Kata thogho juga dijelaskan di dalam surat An-Nazi`at ayat 17:


Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia adalah thogho (telah melampaui batas).

Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Rabbku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Rabbmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (QS. Al-Mukmin: 28)


Allah menyuruh Nabi Musa AS untuk memperingatkan Fir`aun yang telah melampaui batas di negerinya. Karena Posisi Fira`aun sebagai thogho dan Kerajaan beserta simbol dan aparaturnya sebagai thoghut. Sedangkan Nabi Musa sebagai rasul yang ditugaskan Allah untuk menyeru penduduk di negeri Fir`aun agat mentauhidkan Allah dan menjauhi thoghut.

Secara istilah Thoghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh hamba, baik itu yang diikuti atau ditaati atau diibadati.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: "Thoghut adalah segala sesuatu yang dilampaui batasnya oleh seorang hamba baik yang diibadati atau ditaati. Thoghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka berhukum kepada selain Allah dan Rasul-Nya, atau mereka mengibadatainya selain Allah atau mereka mengikutinya tanpa bashirah (penerang) dari Allah atau mereka mentaati dalam apa yang tida mereka ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah. Inilah Thoghut thoghut dunia, bila engkau mengamatinya dan mengamati keadaan keadaan manusia bersamanya maka engkau melihat mayoritas mereka berpaling dari menyembah Allah kepada menyembah Thoghut dan dari berhakim kepada Allah dan Rasul-Nya kepada berhakim kepada thaghut serta dari mentaati Allah serta mengikuti Rasul-Nya menjadi mentaati thoghut serta mengikutinya”. (I’lamu Al Muwaqqi’in, I / 50).

B. KLASIFIKASI THOGHUT

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata: ”Thoghut itu luas : setiap yang diibadati selain Allah dan dia ridha dengan peribadatan itu baik yang diibadati atau diikuti atau ditaati bukan ada ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya maka ia adalah thoghut. Dan thoghut itu banyak sedangkan pimpinan mereka ada lima yaitu :

1. Syaitan, yang mengajak beribadah kepada selain Allah.

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. (QS. Yasin : 60)

"Dari (golongan) jin dan manusia." (QS. An-Nas : 6)

“Dan begitulah Kami jadikan bagi tiap nabi musuhnya berupa syaitan-syaitan manusia dan jin” (QS. Al An’am : 112)


Manusia yang mengajak manusia lain untuk beribadah kepada selain Allah dalam bentuk apapun, maka ia termasuk dari thoghut. Juga yang mengajak kepada selain din Islam kepada din-din bathil, maka ia dapat dikatakan sebagai thoghut, sebagaimana yang diperingatkan di dalam surat Al-Baqarah:

"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah : 208)

Pengabdian kepada syaitan baik dalam bentuk ritual mistik seperti kemenyan, sesajen, dsb atau ritual sistemik berupa paham-paham ideologi di luar islam, dapat digolongkan sebagai bentuk ibadah kepada syaitan.

2. Penguasa yang zalim, yang merubah ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala.

Al-Quran mengkisahkan tentang Fir`aun sebagai seorang penguasa yang zalim yang tidak mentauhidkan Allah dan tidak pula mengindahkan dakwah Nabi Musa As. Menurut para ahli sejarah, Fir`aun adalah sebutan bagi penguasa di Mesir, sedangkan nama Fir`aun pada masa Nabi Musa adalah Ramses II. Fir`aun adalah sebuah nama gelar penguasa, sama seperti gelar Caesar di Romawi, Kisra di Persia, Khan di Mongolia, Tsar di Rusia, dsb. Pada masa ini seorang penguasa diberi gelar Presiden.



Fir'aun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah Tuhan (Ilah) selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan." (QS. Asy Syu`ara: 29)

Jika kita membaca teks ayat -bahasa Arab- tersebut, bentuk ketuhanan yang diklaim Fir`aun adalah ilah (AL ILAH) yang berasal dari kata Aliha yang memiliki banyak pengertian, diantaranya adalah Al Ma`bud (yang wajib diberikan loyalitas, ketaatan, dan kekuasaan). Sedangkan Al Ilah sendiri memiliki makna yang diharapkan, yang diikuti, yang dicintai, dan yang ditakuti. Dalam ayat di atas Fir`aun memberikan ancaman kepada Nabi Musa, jika Nabi Musa menjadikan ILAH selain dirinya maka ia akan mejebloskan Nabi Musa ke dalam penjara. Padahal sama-sama kita ketahui, bahwasannya Nabi Musa mengajak Fir`aun untuk mentauhidkan Allah, untuk meng-ilah-kan Allah semata. Namun Fir`aun menolak seruan Nabi Musa, bahkan memberi ancaman kemudian dilanjutkan dengan pengejaran yang berakhir dengan tenggelamnya Fir`aun beserta bala tentaranya di Laut Merah. Maka dapat kita ketahui bahwa Fir`aun adalah simbol kezaliman penguasa yang menolak petunjuk Allah. Fir`aun sendiri mengakui dirinya sebagai manusia (QS. 23:47), meminta doa kepada Nabi Musa agar dihilangkannya azab yang menimpa negerinya (QS. 7:134), meminta bantuan kepada tukang sihir untuk melawan Nabi Musa (QS. 26:40).
Maksud dari kata "menyembah" dalam QS. 26:29 adalah suatu bentuk pengabdian terhadap yang di-ilah-kan. Itulah sifat pemimpin thoghut dalam wujud penguasa zalim yang meng-ilah-kan dirinya. Padahal Allah telah manyatakan La Ilaha Ila Allah, tiada yang patut di-ilah-kan selain diri-Nya. Ketika telah mengakui tidak Ilah selain Allah, maka kita harus mengikuti petunjuk Allah yang telah disyariatkan melalui kitab-Nya (Al-Quran) sebagai loyalitas, ketaatan, dan kecintaan kita terhadap -Allah- yang ilah-kan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Di kala seseorang menghalalkan yang haram yang telah diijmakan atau merubah aturan yang sudah diijmakan, maka dia kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha.” (Majmu Al Fatawa)

Pemimpin yang zalim yang tidak mengikuti petunjuk Allah dengan cara merubah aturan-aturan (hukum) yang telah disyariatkan, menghalalkan apa yang diharamkan, serta mengharamkan apa yang dihalalkan maka ia termasuk pemimpin thoghut. Pemimpin thoghut tidak selalu dalam wujud Pemimpin suatu negeri, bisa juga dalam wujud Ulama, Pendeta, atau Rahib.

“Mereka (orang-orang Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya (ahli ilmu) dan rahib-rahib (para pendeta) mereka sebagai arbab-arbab selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (At Taubah: 31)

Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:

1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab yang diibadahi.


di dalam hadits hasan dari ‘Adiy ibnu Hatim, ia datang -saat masih Nashrani- berkata: “Kami tidak pernah mengibadati mereka”. Di sini ‘Adiy ibnu Hatim dan orang-orang Nasrani merasa tidak pernah beribadah kepada alim ulama dan para pendeta, karena mereka tidak pernah sujud dan shalat kepadanya, dan mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan peribadatan dan pentuhanan alim ulama dan pendeta itu, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu seraya berkata: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”, maka ‘Adiy berkkata: “Ya, benar”, maka Rasulullah berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka”. Yaitu: bukankah mereka membuat hukum dan kalian mematuhi atau menyetujui dan menjadikan hukum mereka sebagai acuan?, dan ‘Adiy mengiyakannya.

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengkafiri thoghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An Nisa’: 60)


3. Yang memutuskan perkara (hukum) dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al Maaidah: 44)

4. Yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang perkara ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjagapenjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al Jin : 2627)

Dan Allah ta’ala berfirman :

“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua perkara ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan,tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Al An’am : 59)

Note : Hal Ghaib tidak sama dengan Perkara Ghaib. Hal Ghaib meliputi: jin, oksigen, frekuensi, energi, dsb (bisa di lihat/dirasakan/diukur). Sedangkan Perkara Ghaib meliputi : Allah, malaikat, ruh, dsb (manusia ataupun jin tidak ada yang mengetahuinya keculai Rasul yang diridhainya).

5. Yang diibadahi selain Allah sedang ia ridha dengan peribadatan itu, dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orangorang zalim. (QS. Al Anbiya’ : 29)

Dinukil dari risalah Makna atThoghut Wa Ruus Anwa’ihi tulisan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yang terdapat dalam kitab Majmu’ah At Tauhid terbitan Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah halaman 260.

Pertanyaan di atas sekillas sederhana tetapi tidak sesederhana untuk menjawabnya. Contoh sederhana, banyak orang-orang yang mengaku Muslim tetapi perbuatannya tidak mencerminkan seorang Muslim. Di KTP mengaku Islam tetapi sehari-hari tidak shalat, minum khamar, main judi dan sejenisnya. Itu sebabnya dari manakah seseorang untuk memulai keislamannya…?

Rasulullah SAW dalam Hadits Riwayat Muslimnya pada kitab hadits arba’in yang isinya tentang pokok-pokok diin yakni Iman, Islam dan Ihsan.

Dari Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra. bahwa pada suatu hari ketika Rasulallah Saw. dan para sahabat sedang duduk bersama muncullah seorang laki-laki berpakaian putih bersih, berambut hitam kelam, tidak tampak padanya tanda-tanda habis bepergian jauh dan tak seorangpun diantara para sahabat mengenalnya. Lalu dia duduk mendekat pada Rasulallah Saw. dengan menempelkan lututnya pada lutut Rasul, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Rasul dan berkata, “ Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Rasulallah Saw. bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Swt. dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bila mampu melaksanakan perjalanan ke sana.”
Orang itu berkata, “Engkau benar.” Para sahabat heran padanya, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, “Beritahu aku tentang iman.”
Rasulallah Saw. bersabda, “Iman adalah percaya kepada Allah, percaya para malaikatNya, percaya kitab-kitabNya, percaya rasul-rasulNya, percaya hari akhir dan percaya pada takdirNya yang baik maupun yang buruk.”
Orang itu berkata,“Engkau benar.” Orang itu berkata lagi,“Beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulallah Saw. bersabda, ”Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu.”
Orang itu berkata, “Beritahu aku tentang hari kiamat.”
Rasulallah Saw. bersabda, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.”
Rasulallah Saw. bersabda, “Bila budak wanita telah melahirkan tuannya dan bila engkau melihat orang-orang yang dulunya tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan pekerjaannya menggembala kambing telah berlomba-lomba mendirikan bangunan.”
Kemudian orang itu pergi dan para sahabat terdiam.
Sesaat kemudian Rasulallah Saw. bersabda, “Wahai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi?”
Umarpun menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Rasulallah Saw. bersabda, “Dia adalah malaikat Jibril yang datang untuk mengajarkan agamamu.”


Hadits diatas mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah).

Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa pokok-pokok diin (arkanud diin) ada 3 yaitu Iman, Islam dan Ihsan.

1. Iman yang benar dapat dihasilkan dari aqidah yang benar dan aqidah yang benar dapat dihasilkan dari ilmu yang benar.
2. Islam yang benar dapat dihasilkan dari Ibadah yang benar dan Ibadah yang benar dapat dihasilkan dari ‘amal yang benar.
3. Ihsan yang benar dapat dihasilkan dari Mu’amalah yang benar dan Mu’amalah yang benar berasal dari hasil yang benar.

Inilah urutan mempelajari Islam yang digambarkan/ diumpamakan Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 24-25

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buah pada setiap musim dengan seizing robbnya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat ”. (QS. 14:24-25)

Jadi startnya harus dari urutannya.

Ilmu –> Aqidah –> Iman –> sebagai Akar
Amal –>Ibadah –> Islam –> Sebagai Batang
Hasil –> Mu’amalah –> Ihsan –> Buah

Karena dimulai dari ilmu yang benar maka timbul pemahaman aqidah yang benar sehingga menghasilkan keimanan yang benar, tidak mudah terombang-ambing atau tidak mudah terjual imannya. Ibaratnya seperti akar pohon yang teguh dan kokoh sehingga pohon tersebut tidak mudah tumbang.

Dari keimanan yang benar maka selanjutnya dibuktikan dengan ‘amal yang benar sehingga ibadahnya pun benar dan terlihatlah Islam yang benar. Ibaratnya seperti batang/cabang yang terus tumbuh sampai menjulang ke langit.

Karena dari keislaman yang benar maka akan didapat hasil yang baik. Dalam bermu’amalah dengan siapapun atau dengan alam sekitarnya akan senantiasa baik dan terpelihara dan itulah Ihsan yang benar. Ibaratnya seperti pohon yang selalu menghasilkan buah pada setiap musimnya bahkan menghasilkan buah setiap saat (seperti pohon kelapa).

Fenomena yang ada, orang memulai berdienul Islam dari Ibadah tanpa didasari Aqidah maka tidak akan membuahkan mu’amalah. Kebanyakan di negeri ini orang-orang memulai dari Islam tanpa Iman maka tidak akan timbul Ihsan, atau mulai dari Amal tanpa Ilmu maka tidak ada hasilnya. Hal ini digambarkan oleh oleh Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 26.

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. 14:26)

Maka mari kita mulai berdienul Islam dari urutannya yakni dari pemahaman Aqidah.

B. Pengertian AQIDAH


1) Aqidah menurut lughoh (bahasa) adalah ikatan (عََقََدَ – يَعْقِدُ – عُقْدَةً)

2) Aqidah menurut Al Quran adalah perjanjian (QS. 5:1), sumpah setia (QS. 4:33), ikatan (QS. 2:237)

3) Sedangkan Aqidah menurut Istilah adalah

اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَعْرِفَةُ اُصُوْلُ الدِّيْنِ فِى التّوْحِيْدِ ضِدُّ الشِّرْكِ لِمَا تَشَرَّعَ بِهِ اْلانْسَانُ وَاعْتَقََدَهُ

“Aqidah itu adalah pemahaman (ma’rifat) yang kongkrit tentang ushuluddien (asal usul/ dasar-dasar) Dien dalam tauhid yang berlawanan dengan syirik yang dengannya manusia menjadikannya syari’at (ketetapan) dan i‘tikad (keyakinan).

Jadi unsur pembentuk aqidah itu ada 3:

1. Ma’rifat (pemahaman)
2. Syari’at (ketetapan)
3. I’tiqod (keyakinan)

Kita ambil contoh sederhana yakni pemahaman tentang makan. Semua mengetahui bahwa jika tidak makan akan lapar dan jika lapar bisa sakit dan jika sakit lama-lama akan menyebabkan kematian. Berdasarkan pemahaman tentang makan tersebut maka akhirnya timbulah suatu ketetapan (syari’at) bahwa Saya harus makan dan akhirnya itu sudah berubah menjadi keyakinannya (i’tiqod). Itulah kalau sudah menjadi keyakinan, orang-orang rela berangkat pagi buta dan pulang larut malam demi kebutuhan makan. Rela meninggalkan keluarganya di kampung menuju kota demi mencari makan.

Maka jangan heran jika kita mendengar gara-gara uang SERIBU RUPIAH nyawa bisa melayang. Hal itu bukan sepele akan tetapi hal yang penting karena menyangkut makan demi kelangsungan hidupnya.

Sayangnya itu contoh tentang “aqidah makan” yang telah mengkristal. Coba jika kita praktekkan kepada aqidah kepada Allah atau aqidah tauhid sampai mengkristal.

C. JADWAL FIL ‘AQIDAH

Untuk memahami aqidah menurut syara’ yakni diawali dengan pemahaman yang kongkrit tentang ushuluddin maka harus diawali dari pengetahuan pemilik Din tersebut yakni Allah SWT.




Siapakah Allah…?

Allah Adalah Ar Rahman (QS. 55:1-3). Allah Adalah AL ‘Aliim (QS. 59:22, 24)

Apa STATUS dan KEDUDUKAN ALLAH bagi makhluk-Nya (manusia + alam raya)…?

1. RABB = Pengatur/ Pendidik/ Pembina/ Penata (QS. 1:2, 114:1)
2. MALIK = Raja/ Penguasa/ Pemilik (QS. 1:4, 114:2)
3. Ma’bud/ Ilah = Yang diibadati/ pengabdian (QS. 1:5, 114:3)
4.
ALLAH sebagai Rabb maka eksisnya adalah memiliki Rububiyyah (perundangan), konkritnya adalah hukum yaitu AL QURAN
ALLAH sebagai MALIK maka eksisnya adalah memiliki Mulkiyyah (kerajaan/ kekuasaan), konkritnya adalah Dar yaitu AL AKWAN
ALLAH sebagai MA’BUD/ ILAH maka eksisnya adalah memiliki Ubudiyyah (Para pengabdi/ Hamba), konkritnya adalah Jama’ah/Ummat/Masyarakat

Maka perpaduan antara:

1. Rububiyyah + Mulkiyyah + Ubudiyyah/ Uluhiyyah inilah unsur Syar’iah.
2. Hukum + Daar + Jama’ah/ Ummat inilah unsur Ad Dien.



Apa STATUS dan KEDUDUKAN MANUSIA dihadapan Allah… ?

Al Khalifah dimuka bumi (QS. 2:30) dan tugasnya adalah beribadah kepada Allah (QS. 51:56)

KHALIFAH dan RASUL mempunyai tugas yang sama yaitu membawa HUDA (Al Quran) dan DIEN yang HAQ. Sistem yang HAQ untuk di izharkan diatas dien yang lain (Qs. 9:33, 48:28, 61:9).

“Dia-lah yang telah Mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) Petunjuk (Al Quran) dan Diin yang haq untuk dimenangkan-Nya atas segala Diin, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (Qs. 9:33).

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan diin yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua diin. dan cukuplah Allah sebagai saksi”. (QS. 48:28)

thumbnail-cadangan
PERAN,FUNGSI DAN TUJUAN IBADAH

Ibadah menurut asal bahasanya berarti segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus dituruti pemeluknya atau upacara yang berhubungan dengan agama. Sedangkan menurut islam, ibadah mempunyai dua pengertian,yaitu:

1. Ibadah dalam pengertian khusus,yaitu “Lima Rukun Islam” yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim dengan beberapa pengecualian pada kondisi khusus.
2. Ibadah dalam pengertian luas atau umum,yaitu segala perbuatan yang dilakukan seseorang dengan niat untuk mencari keridaan Allah, seperti seorang suami pergi ke kantor guna mencukupi kebutuhan keluarganya.

Ibadah mempunyai peran,fungsi dan tujuan dalam kehidupan manusia. Berikut adalah peran dan fungsi ibadah:

A. PERAN DAN FUNGSI IBADAH

Peran dan fungsi ibadah terbagi menjadi 2 yaitu peran dan fungsi ibadah secara umum dan secara khusus

* Peran dan fungsi ibadah secara umum

Secara umum ibadah dapat berperan sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai insan diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada diri-Nya. Ini jelas disebutkan dalam Al Qur’an surat Az Zariyat ayat 56

56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

* Peran dan fungsi ibadah secara khusus

Peran dan fungsi ibadah secara khusus ini meliputi fungsi masing-masing dari jenis ibadah. Jenis-jenis ibadah ini dapat dikelompokkan menjadi lima bagian atau biasa disebut Rukun Islam yang terdiri dari syahadat,shalat,zakat,puasa, dan pergi haji jika mampu.

v Peran dan fungsi Syahadat

Kalimat syahadat berbunyi : Asyhadu allaa ilaaha illa Allaah wa asyhadu anna Muhammad Rasuul Allaah. Yang artinya adalah Aku mengaku tidak ada tuhan selain Allah dan Aku mengaku Muhammad Utusan Allah.

Ikrar pertama yang diucapakan dalam syahadat adalah pernyataan suci penyaksian dan keyakinan yang sungguh-sungguh tentang keesaan Allah. Bagian yang pertama ini mengandung pengingkaran mutlak tentang adanya ilah-ilah,tuhan-tuhan ataupun dewa-dewa lain dalam segala bentuknya selain Allah. Kalimat ini membebaskan manusia dari pengkultusan individu (pendewaan seseorang) Bagi orang beriman, kalimat ini sejatinya berfungsi untuk menimbulkan kesadaraan akan harga dirinya sebagai manusia, dengan menutup segala kemungkinan untuk menyombongkan diri,merasa lebih dari orang lain.

Ikrar selanjutnya ialah pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Mengenai ini,ajaran islam hanya memberikan tempat yang sewajarnya saja kepada Rasul Allah. Seorang muslim mengaku bahwa Nabi Muhammad adalah manusia biasa yang dipilih Allah untuk menjadi Utusan-Nya. Seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat Al Kahfi ayat 110:

110. Katakanlah( Muhammad) Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”

Hal ini berfungsi untuk mencegah pegkultusan Nabi Muhammad seperti yang telah dilakukan kaum Nasrani yang telah mengkultuskan Nabi Isa as menjadi sekutu Allah.

v Peran dan Fungsi Shalat

Shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan perbuatan tertentu,yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat adalah tiang agama,barangsiapa yang ,menegakkannya maka dia telah menegakkan agama,barangsiapa yang menghancurkannya dia menghancurkan agama. Peran dan fungsi shalat antara lain:

* Shalat dapat memberikan ketentraman dan ketabahan hati,sehingga orang tidak mudah kecewa/gelisah mentalnya jika menghadapi musibah,dan tak mudah lupa daratan jika mendapat kenikmatan/kesenangan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Maarij ayat 20-22

20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, 21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, 22. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,

* Mencegah seseorang melakukan pernuatan keji dan munkar,sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat al Ankabut ayat 45:

45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan

* Menumbuhkan Disiplin Pribadi

Dalam shalat kita dituntut untuk fokus dan selalu tepat waktu sehingga akan menumbuhkan rasa disiplin bagi setiap individu yang melaksanakan shalat.

* Menyehatkan Fisik

Ternyata tak hanya manfaat shalat tak hanya berupa manfaat ruhani tapi, manfaat shalat juga berupa manfaat fisik. Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakn bahwa posisi dalam shalat sangat berguna untuk kesehatan fisik. Salah satunya adalah posisi badan ketika sujud yang dapat memperlancar darah masuk ke otak sehingga otak lebih banyak mendapat pasokan oksigen dan nutrisi. Hal ini dapat menyebabkan pikiran kita terasa lebih jernih.

v Peran dan fungsi zakat

Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan bertauhid, yaitu
sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir dia berikrar
dan mengucapkan dua kalimat Syahadat, maka dia berhak berada
di sisi Allah dan masuk surgaNya.



Orang tersebut sudah dapat dipastikan oleh Allah akan masuk
surga, walaupun masuknya terakhir (tidak bersama-sama orang
yang masuk pertama), karena dia diazab terlebih dahulu di
neraka disebabkan kemaksiatan dan dosa-dosanya yang
dikerjakan, yang belum bertobat dan tidak diampuni. Tetapi
dia juga tidak kekal di neraka, karena didalam hatinya masih
ada sebutir iman. Adapun dalil-dalilnya sebagaimana
diterangkan dalam hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim,
yaitu:

Dari Abu Dzar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’
kemudian meninggal, maka pasti masuk surga.”

Dari Anas r.a., bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Akan keluar
dari neraka bagi orang yang mengucapkan, ‘Laa ilaaha
illallaah,’ walaupun hanya sebesar satu butir iman di
hatinya.”

Dari Abu Dzar pula, dia telah berkata bahwa sesungguhnya
Nabi saw telah bersabda, “Telah datang kepadaku malaikat
Jibril dan memberi kabar gembira kepadaku, bahwa barangsiapa
yang meninggal diantara umatmu dalam keadaan tanpa
mempersekutukan Allah, maka pasti akan masuk surga, walaupun
dia berbuat zina dan mencuri.” Nabi saw. mengulangi sampai
dua kali.

Banyak hadis yang menunjukkan bahwa kalimat Syahadat memberi
hak untuk masuk surga dan terlindung dari neraka bagi yang
mengucapkannya (mengucap Laa ilaaha illallaah). Maksudnya
ialah, meskipun dia banyak berbuat dosa, dia tetap masuk
surga, walaupun terakhir.

Sedangkan yang dimaksud terlindung dari neraka ialah tidak
selama-lamanya di dalam neraka, tetapi diazab terlebih
dahulu karena perbuatan maksiatnya.