(Oleh: Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi)

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
hadits
hadits
hadits
Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allâh,
mereka membacakan kitabullâh dan mempelajarinya,
kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka,
para malaikat mengelilingi mereka
dan Allâh memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya.
Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu oleh :
  • Imam Muslim rahimahullâh, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
  • Abu Daud rahimahullâh dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
  • Ibnu Majah rahimahullâh dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu adalah salah seorang sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr[1] Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh banyak sahabat.
Selama tiga atau empat tahun bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam betul-betul dimanfaatkan oleh beliau. Senantiasa bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pada saat banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain.
Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang dialaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh dan Imam Muslim rahimahullâh secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh tanpa Imam Muslim rahimahullâh sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullâh tanpa Imam Bukhari rahimahullâh 98 hadits.

MAKNA KOSA KATA HADITS
hadits

Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allâh, yaitu masjid. Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar hadits yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullâh dengan lafadz:
hadits
Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allâh,
kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya
dan turun kepada mereka ketenangan,
serta Allâh memujinya di hadapan makhluk
yang berada di sisinya.

(Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad)
hadits
ketenangan
hadits
diselimuti rahmat Allâh
hadits
dikelilingi malaikat rahmah
hadits
Allâh memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.
hadits
siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.

FAIDAH HADITS
Pertama: Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allâh Ta'âla :
(QS Ali Imran/3:79)
Tidak wajar bagi seseorang manusia
yang Allâh berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian,
lalu dia berkata kepada manusia,
”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allâh”.
Akan tetapi (dia berkata),
”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

(QS Ali Imran:79)

Hal inipun dilakukan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu dengan sabdanya :
hadits
Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah.
Mereka bertanya, ”Apakah taman syurga itu?”
Beliau menjawab, ”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu)."

(Riwayat At Tirmidzi
dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali
dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4)

Demikian juga para salafush shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillâh bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Kedua: Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
  • Mengamalkan perintah Allâh Ta'âla dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan mencontoh jalan hidup para salafush shalih.
  • Mendapatkan ketenangan.
  • Mendapatkan rahmat Allâh Ta'âla .
  • Dipuji Allâh di hadapan para malaikat.
  • Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
  • Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga. Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :
Ikhlas.

Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allâh semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata:
“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]


Bersemangat menghadiri majelis ilmu

Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab rahimahullâh, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi rahimahullâh:
“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.
Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullâh :
“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allâh kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ”.
Demikian juga Imam Malik rahimahullâh, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain :
“Alhamdulillâh, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.
Abul Hasan Al Karkhi rahimahullâh berkata :
“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.
Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.



Bersegera datang ke majelis ilmu dan tidak terlambat, bahkan harus mendahuluinya dari selainnya.

Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi rahimahullâh ketika ditanya :
“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”
Beliau menjawab :
“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]



Mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang ada di majelis ilmu yang tidak dapat dihadirinya.

Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu, seperti sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.


Mencatat faidah-faidah yang didapatkan dari kitab.

Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan, kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis dan pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membaca (sesuai dengan kecukupan waktu) sebagian pokok bahasan kitab.


Tenang dan tidak sibuk sendiri dalam majelis ilmu.

Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi rahimahullâh menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata :
“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Suara pena tidak terdengar. Tidak ada yang bangkit, seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat”.[4]
Dan dalam riwayat yang lain:
“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]


Tidak boleh berputus asa.

Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan.
Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum teh hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”. Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.


Jangan memotong pembicaraan guru atau penceramah

Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita dengan sabdanya :
hadits
Tidak termasuk golongan kami
orang yang tidak menghormati yang lebih tua
dan menyayangi yang lebih muda
serta yang tidak mengerti hak ulama.

(Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Al Jami’)
Imam Bukhari rahimahullâh menulis di Shahihnya, orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits:
hadits
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
“Ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
berada di majelis menasihati kaum,
datanglah seorang A’rabi dan bertanya :
”Kapan hari kiamat?”
(Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai.
Lalu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) bertanya :
“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab:
”Saya, wahai Rasûlullâh.”
Lalu beliau berkata:
“Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”.
Dia bertanya lagi:
“Bagaimana menyia-nyiakannya?”
Beliau menjawab:
“Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya,
maka tunggulah hari kiamat”.

(Riwayat Bukhari)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.


Beradab dalam bertanya

Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allâh Ta'âla dalam firmanNya:
(QS An Nahl/16 : 43)
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.

(QS An Nahl/16 : 43)
Demikian pula Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabda beliau:
hadits
Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu?
Sesungguhnya obat ketidak mengertian adalah bertanya.

(Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi
dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali
dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah,
hal. 174)
Imam Ibnul Qayim rahimahullâh berkata:
”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh memberikan pernyataan:
”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]
Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:
1.
Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.

Hal ini dijadikan syarat oleh Allâh Ta'âla dalam firmanNya di atas (QS An Nahl/16 : 43).
Dalam ayat ini Allâh Ta'âla menyebutkan syarat dalam mengajukan pertanyaan adalah karena tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Namun demikian seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, dengan tujuan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril'alaihissalam kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits Jibril yang mashur.


2.
Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.

Hal ini dinyatakan oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya:

(QS Al Maidah/5 : 101)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu
dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.
Allâh mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

(QS Al Maidah : 101)

Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
hadits
Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah
orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan,
lalu diharamkan karena pertanyaannya.

(Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi.
Rabi’ bin Khaitsam rahimahullâh berkata:
“Wahai Abdullâh, apa yang Allâh berikan kepadamu dalam kitabnya (ilmu) maka syukurilah, dan yang Allâh tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allâh Ta'âla berfirman kepada NabiNya:
(QS Shad/38 : 86-88)
Katakanlah (hai Muhammad):
”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku;
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.
Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.
Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui
(kebenaran) berita Al Qur’an setelah beberapa waktu lagi.
(QS Shâd : 86-88)[8]


3.Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.

Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148:
“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.


4.Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas.

Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
hadits
Saya shalat bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam,
lalu beliau memanjangkan shalatnya
sampai saya berniat satu kejelekan.
Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud:
“Apa yang engkau niatkan?”
Beliau menjawab:
“Saya ingin duduk dan meninggalkannya”.

(Riwayat Bukhari dan Muslim)


5.
Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

Mengambil akhlak dan budi pekerti guru.

Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru.
Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.
Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.[9]
Abu Bakar Al Muthaawi’i rahimahullâh berkata:
“Saya menghadiri majelis Abu Abdillâh –beliau mengimla’ musnad kepada anak-anaknya– duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”.[10]

Dengan demikian kehadiran kita dalam majelis ilmu, hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Inilah sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[1]Para ulama’ berbeda pendapat mengenai nama asli beliau. Pendapat terkuat, beliau bernama Abdurrahman bin Shahr
[2]Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal.68.
[3]Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196.
[4]Tadzkiratul Hufadz 1/331
[5]Siyar A’lam Nubala 4/1470.
[6]Miftah Daris Sa’adah 1/169.
[7]Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143.
[8]Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136.
[9]Siyar A’lam Nubala 11/316.
[10]Ibid. 11/316

(Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI)


Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) semakin dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat. Banyak kalangan yang menaruh harapan besar kepada MIUMI agar memberikan solusi terhadap problematika umat Islam.
Mantan Pengurus Pusat Islam Jamaah (IJ) yang bertopeng Lembaga Dakwa Islam Indonesia (LDII) membeberkan kesesatan LDII kepada Sekretaris Jenderal (Sekjend) MIUMI (Rabu, 11/04/2012).
Mauluddin, mantan Wakil Imam Besar IJ (setingkat Wapres dalam struktur Republik LDII) menyatakan, IJ mirip Khawarij dan sangat berbahaya bagi akidah umat Islam. "Iya, sangat kental nuansa takfirnya. Jadi, selain anggota LDII, dianggap kafir", ujarnya saat wawancarai di Kantor MIUMI, Jalan Tebet Timur Dalam VIII No. 44. Jakarta Selatan (Rabu, 11/04/2012).
Mauluddin mengungkapan, sebab para mantan keluar IJ atau LDII di antaranya, mereka merasa aneh dengan kewajiban mempelajari Islam lewat jalur riwayat (manqul) Haji Nurhasan Ubaidah sebagai Imam Besar IJ. Selain itu tidak dibenarkan.
Saya merasa aneh, ngajinya kenapa harus secara manqul dari Haji Nurhasan. Katanya (Nurhasan), jamaah ini (IJ) tidak fanatik dengan mazhab tertentu. Tidak mengambil pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad. Tapi, murni mengamalkan Al-Quran dan hadits. Kalau demikian, kenapaharus mempelajari Islam sesuai doktrin Haji Nurhasan saja”, paparnya.
Mereka memang menggunaka Al-Quran dan Hadits dalam mengindoktrinasi anggota jamaah, tapi penafsirannya akan berbeda dengan penafsiran ulama pada umumnya, karena dipelesetkan sesuai kepentingan mereka (IJ)”, tambah Adam Amrullah salah seorang mantan LDII yang mengaku pernah menjadi ketua kepemudaan IJ ini. 
Sikap radikal ala khawarij yang suka mengkafirkan orang di luar IJ tak hanya mengagetkan orang di luar IJ, tapi juga dari kalangan internal yang sudah malang melintang dalam dakwah LDII.
Saya produk asli IJ. Ayah, ibu bahkan kakek nenek saya semuanya IJ. Tapi saya justru ill fell (hilang rasa simpatik) dengan dakwahnya yang terlalu sombong, menggaggap IJ-lah satu2nya jamaah yg mengamalkan Al-Quran-Hadits dan dijamin “pasti” masuk surga” jelasnya kepada Sekjend MIUMI.
Kekuatan doktrin IJ tertumpu pada sandi 354 (galipat). Tiga berarti tiga butir yang berarti, Jamaah, Al-Quran dan Hadits. Artinya Al-Quran dan Hadits harus diinterpretasikan sesuai penafsiran “Jamaah”.
Lima artinya lima butir berisi sumpah setia(bai’at) kepada Sang Amir untuk mengaji, mengamal, membela, sambung jamaah dan taat Amir(pimpinan).
Empat maknanya lima butir pengikat iman yang terdiri dari syukur, menganggungkan, bersungguh-sungguh dan berdoa untuk Amir. Nah, kewajiban jamaah untuk menyumbang sepuluh (10) persen dari penghasilan perbulannya masuk dalam bab membela Jamaah itu, plus infak untuk dainya. Semua kalau ditotal bisa sampai 20% dari penghasilan kita “ jelas Pak Imam mantan Muballigh (penceramah) LDII yang anak istrinya masih terperangkap dalam pusaran LDII.
Menanggapi pengaduan para mantan LDII ini, Sekjend MIUMI, Bachtiar Nasir tidak ragu menyatakan bahwa IJ sesat menyesatkan. Tidak ragu bagi kami bahwa LDII ini sesat. Karena itu kami sarankan kepada Bapak-bapak yang sudah keluar dari LDII agar tetap solid dan segera mengambil langkah startegis untuk memberikan pencerahan kepada jamaah yang masih di LDII”, tutur Direktur Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL) Tebet, Jakarta Selatan.
Menurut Abdurrahim, mantan Gubernur Republik LDII Wilayah DKI Jakarat, untuk memuluskan dakwahnya LDII tidak hanya berganti nama. Tapi juga mendirikan ormas berupa Lembaga Dakwa Islam Indonesia (LDII), Persatuan Silat Nasional (Persinas) ASAD, Usaha Bersama (UB), Cinta Alam Indonesia (CAI), dan Sentra Komunikasi (SENKOM).
Data serupa juga diamini oleh Adam Amrullah,“organisasi-organisasi itu sengaja didirikan untuk mewadahi potensi internal dan menjerat orang-orang di luar IJ, “ ujar Adam yang dipaksa cerai oleh mertuanya karena dianggap murtad setelah keluar dari LDII. [Masdar Helmi/MIUMI]

Cyber Sabili-Dubai: Seorang penduduk kristen UEA memiliki Al-Quran terkecil di dunia berukuran panjangnya hanya 5.1cm dan lebar 8cm.


Al-Quran ini terdiri dari 550 halaman dan diperkirakan berumur sekitar 400 tahun.

Ameel Issa, seorang Kristen, yang mewarisi naskah suci dari leluhurnya, mengatakan, Al-Qurqn ini ditemukan dekat Al Quds
(Yerusalem), lapor Al Jazeera.

Ameel membawanya ke UEA tahun 1989 dan ia tidak berniat menjual Al-Quran tersebut.(sia)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى وسلام على عباده الذين اصطفى وبعد
  
يقول الله تعالى : “بل نقذف بالحق على الباطل فيدمغه ” الآية
 Sebagai pengamalan terhadap ayat ini kami akan menyebutkan penjelasan ringkas dan memadai bagi kaum muslimin tentang suatu kelompok yang telah merubah agama dan menyebarkan kebatilan-kebatilan yang dikenal dengan kelompok Hizbuttahrir, yang didirikan oleh seorang bernama Taqiyuddin an-Nabhani. Ia mengaku ahli ijtihad, ia berbicara tentang agama dengan kebodohan, mendustakan al Qur’an, hadits dan ijma’ baik dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin) maupun dalam masalah furu’.

Berikut ini adalah sebagian kecil dari kesesatan-kesesatannya yang dibantah oleh orang yang memiliki hati yang jernih.
  1. Allah ta’ala berfirman :
إنّا كلّ شىء خلقناه بقدر
Maknanya : “Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan segala sesuatu dengan Qadar”.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“إنّ الله صانع كل صانع وصنعته” رواه الحاكم والبيهقيّ 
Maknanya: “Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya” (H.R. al Hakim dan al Bayhaqi)
Al Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar berkata: “Tidak sesuatupun di dunia maupun di akhirat terjadi kecuali dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Tentang perbuatan hamba, beliau berkata: “Dan dia itu seluruhnya (segala perbuatan manusia) dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Inilah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi aqidah ini. Mereka menjadikan Allah tunduk dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh pimpinan mereka; Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, juz I, bagian pertama, hlm 71-72, sebagai berikut: “Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam qadla‘”.
Dalam buku yang sama ia berkata[1]: “Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan bagi kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah“. Pendapat serupa juga ia ungkapkan dalam kitabnya berjudul Nizham al Islam[2].
2.Ahl al Haqq sepakat bahwa para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan yang sangat. Dari sini diketahui bahwa Allah ta’ala tidak akan memilih seseorang untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina (Radzalah), khianat, kebodohan, kebohongan dan kebebalan. Karena itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Sedangkan dosa-dosa kecil yang tidak mengandung unsur kehinaan bisa saja seorang nabi. Inilah pendapat kebanyakan para ulama seperti dinyatakan oleh beberapa ulama dan ini yang ditegaskan oleh al Imam Abu al Hasan al Asy’ari –semoga Allah merahmatinya–. Sementara  Hizbuttahrir menyalahi kesepakatan ini, mereka membolehkan seorang pencuri, penggali kubur (pencuri kafan mayit), seorang homo seks atau pelaku kehinaan-kehinaan lainnya yang biasa dilakukan oleh manusia untuk menjadi nabi.
Inilah di antara kesesatan Hizbuttahrir, seperti yang dikatakan pemimpin mereka, Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah[3]: “…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Adapun sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa (‘Ishmah)  berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja“.
3.Rasulullah  menekankan dalam beberapa haditsnya  tentang pentingnya taat kepada seorang khalifah.  Dalam salah satu haditsya Rasulullah bersabda:
“من كره من أميره شيئا فليصبر عليه فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان فمات عليه إلا مات ميتة جاهليّة ” رواه البخاري ومسلم عن ابن عبّاس 
Maknanya: “Barang siapa membenci sesuatu dari amirnya hendak lah ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu kecuali matinya adalah mati Jahiliyyah” (H.R. Muslim)
Beliau juga bersabda:
“وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا” رواه البخاري ومسلم
Maknanya: “(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan kekufuran yang jelas” (H.R. al Bukhari dan Muslim) 
Ulama Ahlussunnah juga telah menetapkan  bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan dengan sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatan tersebut. Karena fitnah yang akan muncul akibat pelengserannya lebih besar dan berbahaya dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, Juz XII, h. 229: “Ahlussunnah sepakat bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya”. Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi ketetapan tersebut, mereka menjadikan seorang khalifah sebagai mainan bagaikan bola yang ada di tangan para pemain bola. Di antara pernyataan mereka dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa “Majlis asy-Syura memiliki hak untuk melengserkan seorang khalifah dengan suatu sebab atau tanpa sebab“. Statement ini disebarluaskan dalam selebaran yang mereka terbitkan dan dibagi-bagikan di kota Damaskus sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu. Selebaran tersebut ditulis oleh  sebagian pengikut Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka juga menyatakan  dalam buku mereka yang berjudul Dustur Hizbuttahrir, h. 66 dan asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian ketiga halaman 107-108  tentang hal-hal/perkara yang dapat merubah status seorang khalifah sehingga menjadi bukan khalifah dan seketika itu wajib dilengserkan : “Perbuatan  fasiq yang jelas (kefasikannya)” .  An-Nabhani berkata dalam bukunya yang berjudul Nizham al Islam, hlm 79, sebagai berikut : “Dan jika seorang khalifah menyalahi syara’ atau tidak mampu melaksanakan  urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan seketika“.
4.   Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميته جاهليّة”  رواه مسلم من حديث عبد الله بن عمر
Maknanya: “Barang siapa mencabut baiatnya untuk mentaati khalifah yang ada di hari kiamat ia tidak memiliki alasan yang diterima, dan barang siapa meninggal dalam keadaan demikian maka matinya adalah  mati jahiliyah” (H.R. Muslim)
Maksud hadits ini bahwa orang yang membangkang terhadap khalifah yang sah dan tetap dalam keadaan seperti ini sampai mati maka matinya adalah mati jahiliyyah, yakni mati seperti matinya para penyembah berhala dari sisi besarnya maksiat tersebut bukan artinya mati dalam keadaan kafir dengan dalil riwayat yang lain dalam Shahih Muslim: “فمات عليه”  ; yakni mati dalam keadaan membangkang terhadap seorang khalifah yang sah.  Hizbuttahrir telah menyelewengkan hadits ini dan mereka telah mencampakan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim  yang sanadnya lebih kuat dari hadits pertama:
 
فالزموا جماعة المسلمين وإمامهم”،  قال حذيفة :”فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام” قال رسول الله :
“فاعتزل تلك الفرق كلّها”  
Maknanya: “Hiduplah kalian menetap di dalam jama’ah umat Islam dan imam (khalifah) mereka“. Hudzaifah berkata : “Bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam (khalifah) ?”, Rasulullah bersabda : “Maka tinggalkanlah semua kelompok yang ada (yakni jangan ikut berperang di satu pihak melawan pihak yang lain seperti perang yang dulu terjadi antara Maroko dan Mauritania) !”. Rasulullah tidak mengatakan: “jika demikian halnya, maka kalian mati jahiliyyah”. Inilah salah satu kebathilan  mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya orang yang mati dengan tanpa membaiat seorang khalifah maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” (lihat buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian III hlm. 13 dan 29). Mereka juga menyebutkan dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah  h. 4  sebagai berikut: “Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan atas tiap muslim untuk melakukan baiat dan mensifati orang yang  mati tanpa melakukan baiat bahwa  ia mati dalam keadaan mati jahiliyah“. Mereka juga menyebutkan dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah hlm. 9 sebagai berikut : “Jadi semua kaum muslim berdosa besar karena tidak mendirikan khilafah bagi kaum muslimin dan apabila mereka sepakat atas hal ini maka dosa tersebut berlaku bagi masing-masing individu umat Islam di seluruh penjuru dunia“. Disebutkan juga pada bagian lain dari buku al Khilafah hlm. 3 dan  buku asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz III hlm. 15 sebagai berikut : ”Dan tempo yang diberikan bagi kaum muslimin  dalam menegakkan  khilafah adalah dua malam, maka tidak halal bagi seseorang tidur dalam dua malam tersebut tanpa melakukan baiat“. Mereka juga berkata dalam buku mereka berjudul ad-Daulah al Islamiyyah hlm. 179: “Dan apabila kaum muslimin tidak memiliki  khalifah di masa tiga hari, mereka berdosa  semua sehingga mereka menegakkan khalifah“. Mereka juga berkata dalam buku yang lain Mudzakkirah Hizbittahrir ila al Muslimin fi Lubnan, h. 4: “Dan kaum muslimin di Lebanon seperti halnya di seluruh negara Islam, semuanya berdosa kepada Allah, apabila mereka tidak mengembalikan Islam kepada kehidupan dan mengangkat seorang khalifah yang dapat mengurus urusan mereka“.
Dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan Hizbuttahrir  bahwa “orang yang mati di masa ini dan tidak membaiat seorang khalifah maka matinya mati jahiliyyah”. Pernyataan Hizbuttahrir ini mencakup orang yang mati sekarang dan sebelum ini sejak terhentinya khilafah sekitar seratus tahun yang lalu. Ini adalah penisbatan bahwa umat sepakat dalam kesesatan dan ini adalah kezhaliman yang sangat besar dan penyelewengan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Umar tadi. Jadi menurut pernyataan Hizbuttahrir tersebut setiap orang yang mati mulai  terhentinya khilafah hingga sekarang maka matinya adalah mati jahiliyyah, berarti mereka telah menjadikan kaum muslimin  yang mati sejak waktu tersebut hingga sekarang sebagai mati jahiliyyah seperti matinya para penyembah berhala, ini jelas kedustaan yang sangat keji.  Dan dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan Hizbuttahrir “لا شريعة إلا بدولة الخلافة”  : “Tidak ada syari’at kecuali jika ada khilafah”,  juga pernyataan sebagian Hizbuttahrir  :      “لا إسلام بلا خلافة”  ; “Tidak ada Islam jika tidak ada khilafah”. Sedangkan Ahlussunnah menyatakan kesimpulan hukum berkaitan dengan masalah khilafah bahwa  menegakkan khilafah hukumnya wajib, maka barang siapa tidak melakukannya padahal ia mampu maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah. Adapun rakyat sekarang ini jelas tidak mampu untuk mengangkat seorang khalifah  sedangkan Allah ta’ala berfirman :
)لا يكلّف الله نفسا إلاّ وسعها(
Anehnya Hizbuttahrir  yang sejak empat puluh tahun lalu selalu menyatakan kepada khalayak akan menegakkan khilafah ini hingga sekarang ternyata mereka tidak mampu menegakkannya, mereka tidak mampu melakukan hal itu sebagaimana yang lain. Adapun pentingnya masalah khilafah itu adalah hal yang diketahui oleh semua dan karya-karya para ulama dalam bidang aqidah dan fiqh penuh dengan penjelasan mengenai hal itu. Tapi yang sangat penting untuk diketahui bahwa khilafah bukanlah termasuk rukun Islam maupun rukun Iman, lalu bagaimana Hizbuttahrir  berani mengatakan :
“لا إسلام بلا خلافة”  atau mengatakan :  “لا إسلام بلا خلافة” , ini adalah hal yang tidak benar dan tidak boleh dikatakan.
5.  Nabi Shalallahu alayhi wassallam bersabda:
“والرجل زناها الخطا” رواه البخاري ومسلم وغيرهما
Maknanya: “Zina kaki adalah melangkah (untuk berbuat haram seperti zina)“  (H.R. al Bukhari dan Muslim dan lainnya). Al Imam an-Nawawi menuturkan dalam Syarh shahih Muslim bahwa berjalan untuk berzina adalah haram. Sedangkan Hizbuttahrir telah mendustakan Rasulullah Shalallahu alayhi wassallam dan menghalalkan yang haram . Mereka mengatakan  ”tidaklah haram berjalan dengan tujuan untuk berzina dengan perempuan atau berbuat mesum dengan anak-anak (Liwath), yang tergolong maksiat hanyalah melakukan perbuatan  zina dan Liwathnya saja“ . Selebaran tentang hal ini  mereka  bagi–bagikan di Tripoli-Syam tahun 1969. Dan hingga kini kebanyakan penduduk Tripoli masih menyebutkan hal ini, karena  pernyataan tersebut menyebabkan kegoncangan, kerancuan dan bantahan dari penduduk Tripoli.
6. Islam menganjurkan ‘iffah (bersih dari segala perbuatan hina dan maksiat) dan kesucian diri, akhlak yang mulia, mengharamkan jabatan tangan  antara laki-laki dengan perempuan ajnabi dan menyentuhnya . Nabi bersabda :
“واليد زناها البطش” رواه البخاري ومسلم وغيـرهما
Maknanya: “Zina tangan adalah menyentuh” (H.R al Bukhari, Muslim dan lainnya).  Dan dalam riwayat Ahmad :   واليد زناها اللمس serta dalam riwayat Ibnu Hibban : “واليد زناؤها اللمس .  Sementara Hizbuttahrir mengajak kepada perbuatan-perbuatan hina, mendustakan Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam dan menghalalkan yang haram, di antaranya perkataan mereka tentang kebolehan ciuman laki-laki terhadap perempuan yang ajnabi ketika saat perpisahan atau datang dari suatu perjalanan.  Demikian juga menyentuh, berjalan  untuk berbuat maksiat  dan semacamnya.
Mereka menyebutkan hal itu dalam selebaran mereka dalam bentuk soal jawab, 24 Rabiul Awwal 1390 H, sebagai berikut :
S : Bagaimana hukum ciuman dengan syahwat beserta dalilnya?
J  : Dapat  dipahami dari kumpulan jawaban yang lalu bahwa ciuman dengan syahwat adalah perkara yang mubah dan tidak haram….karena itu kita berterusterang kepada masyarakat bahwa mencium dilihat dari segi ciuman  saja bukanlah perkara yang haram, karena ciuman tersebut mubah sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang membolehkan perbuatan manusia yang biasa, maka perbuatan berjalan, menyentuh, mencium dengan menghisap, menggerakkan hidung, mencium, mengecup dua bibir dan yang semacamnya tergolong dalam perbuatan yang masuk dalam keumuman dalil…..makanya status hukum gambar (seperti gambar wanita telanjang) yang biasa tidaklah haram tetapi tergolong hal yang mubah tetapi negara kadang  melarang beredarnya gambar seperti itu. Ciuman laki-laki kepada perempuan di jalanan baik dengan syahwat maupun tidak negara bisa saja melarangnya di dalam pergaulan umum. Karena negara bisa saja melarang dalam pergaulan dan kehidupan umum beberapa hal yang sebenarnya mubah. …. di antara para lelaki ada yang menyentuh baju perempuan dengan syahwat, sebagian ada yang melihat sandal perempuan dengan syahwat atau mendengar suara perempuan dari radio dengan syahwat lalu nafsunya bergojolak sehingga  zakarnya bergerak dengan sebab mendengar suaranya secara langsung atau dari nyanyian atau dari suara–suara iklan atau dengan sampainya surat darinya ……maka perbuatan-perbuatan ini seluruhnya disertai dengan syahwat dan semuanya berkaitan dengan perempuan. Kesemuanya itu boleh, kerena masuk dalam keumuman dalil yang membolehkannya …….“. Demikian ajaran yang diikuti oleh Hizbuttahrir, Na’udzu billah min dzalika.
Mereka juga menyebutkan dalam selebaran yang lain (Tanya Jawab   tertanggal 8 Muharram 1390 H) sebagai berikut :
Barang siapa mencium orang yang tiba dari perjalanan, laki-laki atau perempuan atau berjabatan tangan dengan laki-laki atau perempuan dan dia melakukan itu bukan untuk berzina atau Liwath maka ciuman tersebut tidaklah haram, karenanya baik ciuman maupun jabatan tangan tersebut boleh“. Mereka juga mengatakan boleh bagi laki-laki menjabat tangan perempuan ajnabi dengan dalih bahwa Rasulullah –kata mereka- berjabatan tangan dengan perempuan dengan dalil hadits Ummi ‘Athiyyah ketika melakukan bai’at yang diriwayatkan al Bukhari, ia berkata : 

فقبضت امرأة منا يدها
Maknanya: “Salah seorang di antara kita (perempuan-perempuan) menggenggam tangannya” .
Mereka mengatakan : ini berarti bahwa yang lain tidak menggenggam tangannya. Sementara Ahlul Haqq, Ahlussunnah menyatakan bahwa dalam hadits ini tidak ada penyebutan bahwa perempuan yang lain menjabat tangan Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam, jadi yang dikatakan oleh Hizbuttahrir adalah salah paham dan kebohongan terhadap Rasulullah. Jadi hadits ini bukanlah nash yang menjelaskan hukum bersentuhnya kulit dengan kulit, sebaliknya hadits ini menegaskan bahwa para wanita saat membaiat mereka memberi isyarat tanpa ada sentuh-menyentuh di situ sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari dalam shahih-nya di bab yang sama dengan hadits Ummi ‘Athiyyah. Hadits ini bersumber dari ‘Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia mengatakan :
“كان النبـيّ يبايع النساء بالكلام”
Maknanya: “Nabi membaiat para wanita dengan berbicara” (H.R. al Bukhari)
‘Aisyah juga mengatakan:
“لا والله ما مسّت يده يد امرأة قطّ في المبايعة ، ما يبايعهن إلاّ بقوله قد بايعتك على ذلك”
Maknanya: “Tidak, demi Allah tidak pernah sekalipun tangan Nabi menyentuh tangan seorang perempuan ketika baiat, beliau tidak membaiat para wanita kecuali hanya dengan mengatakan : aku telah menerima baiat kalian atas hal-hal tersebut” (H.R. al Bukhari)
Lalu mereka berkata : “Cara melakukan bai’at adalah dengan berjabatan tangan atau melalui tulisan. Tidak ada bedanya antara kaum laki-laki dengan perempuan; Karena kaum wanita boleh berjabat tangan dengan khalifah ketika baiat sebagaimana orang laki-laki berjabatan tangan dengannya“.
(baca : buku al Khilafah, hlm. 22-23 dan buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II, bagian 3, hlm. 22-23 dan  Juz III, hlm. 107-108). Mereka berkata dalam selebaran lain (tertanggal 21 Jumadil Ula 1400 H / 7 April 1980) dengan judul : “Hukum Islam tentang jabatan tangan laki-laki dengan perempuan yang ajnabi“, setelah berbicara panjang lebar dikatakan sebagai berikut : “Apabila kita memperdalam penelitian tentang hadits-hadits yang dipahami oleh sebagian ahli fiqh sebagai hadits yang mengharamkan berjabatan tangan, maka akan kita temukan bahwa hadits-hadits tersebut tidak mengandung unsur pengharaman  atau pelarangan“. Kemudian mereka mengakhiri tulisan dalam selebaran tersebut dengan mengatakan :
“Yang telah dikemukakan tentang kebolehan berjabat tangan (dengan lawan jenis) adalah sama halnya dengan mencium” 
Pimpinan mereka juga berkata dalam buku berjudul an-Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hlm. 57 sebagai berikut : “Sedangkan mengenai berjabat tangan, maka dibolehkan bagi laki-laki berjabatan tangan dengan perempuan dan perempuan berjabatan tangan dengan laki-laki dengan tanpa penghalang di antara keduanya“. Dan ini menyalahi kesepakatan para ahli fiqh. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“إنّي لا أصافح النساء”
Maknanya: “Aku tidak akan pernah menjabat tangan para wanita” (H.R. Ibnu Hibban)
Ibnu Manzhur dalam Lisan al ‘Arab mengatakan: “Baaya’ahu ‘alayhi mubaya’ah (membaiatnya): artinya berjanji kepadanya. Dalam hadits dinyatakan:
                         ألا تبايعونـي على الإسلام ;
tidakkah kalian berjanji kepadaku untuk berpegang teguh dengan Islam. Jadi baiat adalah perjanjian”. Jadi tidaklah disyaratkan untuk disebut baiat secara bahasa maupun istilah syara’ bahwa pasti bersentuhan antara kulit dengan kulit, tetap disebut baiat meskipun tanpa ada persentuhan antara kulit dengan kulit. Ketika para sahabat membaiat Nabi pada Bai’at ar-Ridlwan dengan berjabat tangan hanyalah untuk bertujuan  ta’kid (menguatkan). Baiat kadang juga dilakukan dengan tulisan.
8. Di antara dalil Ahlussunnah tentang keharaman menyentuh perempuan ajnabiyyah  tanpa ha-il (penghalang) adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :
َ”لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ”  (رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم الكَبِيْرِ مِنْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ الدّيْن الهَيْثَمِي وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ)
Maknanya : “Bila (kepala) salah seorang dari kalian ditusuk dengan potongan besi maka hal itu benar-benar lebih baik baginya daripada memegang perempuan yang tidak halal baginya”. (H.R. ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami, al Mundziri dan lainnya)
Pengertian al Mass dalam hadits ini adalah menyentuh dengan tangan dan semacamnya sebagaimana dipahami oleh perawi hadits ini,  Ma’qil bin Yasar seperti dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf.
Sedangkan Hizbuttahrir menganggap hadits ath-Thabarani tersebut yang mengharamkan berjabatan tangan dengan perempuan ajnabiyyah termasuk khabar Ahad dan tidak bisa dipakai untuk menentukan suatu hukum.
Ini adalah bukti kebodohan mereka. Bantahan terhadap mereka adalah pernyataan para ulama ushul fiqh yang menegaskan bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segala masalah keagamaan seperti dinyatakan oleh al Imam al ushuli al mutabahhir Abu Ishaq asy-Syirazi. Beliau menyatakan dalam bukunya at-Tabshirah : “(Masalah) Wajib beramal dengan khabar ahad dalam pandangan syara’ “. Bahkan an-Nawawi dalam syarh shahih Muslim menukil kehujjahan khabar ahad ini dari mayoritas kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul fiqh. Kemudian ia membantah golongan Qadariyyah Mu’tazilah yang tidak mewajibkan beramal dengan khabar ahad. Lalu an-Nawawi mengatakan : “Dan Syara’  telah mewajibkan beramal dengan khabar ahad”.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Hizbuttahrir sejalan dengan Mu’tazilah dan menyalahi Ahlussunnah. Yang aneh, Hizbuttahrir telah berpendapat demikian, tetapi dalam karangan-karangan mereka berdalil dengan hadits-hadits ahad yang sebagiannya adalah dla’if. Mereka juga mengutip cerita-cerita dan atsar dari buku-buku yang tidak bisa dijadikan rujukan dalam bidang hadits, tafsir. Bahkan mereka telah berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dalam majalah mereka Al Wa’ie, edisi 98, Tahun IX Muharram 1416 H mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
الساكت عن الحقّ شيطان أخرس
“Orang yang diam dan tidak menjelaskan kebenaran adalah setan yang bisu”.
Kita katakan kepada mereka : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda :
إنّ كذبا عليّ ليس ككذب على أحد
Maknanya : “Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah seperti berdusta atas siapapun”.
Pernyataan di atas adalah perkataan Abu ‘Ali ad-Daqqaq, seorang sufi besar seperti diriwayatkan oleh al Imam al Qusyairi dalam ar-Risalah dan bukan perkataan Rasulullah. Ini juga merupakan bukti akan kebodohan mereka bahkan dalam menukil hadits sekalipun. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati dan tidak tertipu oleh karangan-karangan mereka.

9 .    Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda dalam sebuah Hadits yang mutawatir :
ورب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه”
Maknanya : “Seringkali terjadi orang yang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya
Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi dalam dua tingkatan :
Pertama  : orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan hadits) dan berijtihad dan yang kedua : mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi’i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid.
Sedangkan Hizbuttahrir, mereka menyalahi hadits dan membuka pintu fatwa dengan tanpa ilmu dan tidak mengetahui syarat-syarat ijtihad. Pernyataan-pernyataan Hizbuttahrir semacam ini banyak terdapat dalam buku-buku mereka. Mereka mendakwakan bahwa seseorang apabila sudah mampu beristinbath maka ia sudah menjadi Mujtahid, karena itulah ijtihad atau istinbath mungkin saja dilakukan oleh semua orang dan mudah  diusahakan dan dicapai oleh siapa saja, apalagi pada masa kini telah tersedia di hadapan semua orang  banyak buku  tentang bahasa Arab dan buku-buku tentang syari’at Islam. Yang disebutkan ini adalah redaksi pernyataan mereka (lihat kitab at-Tafkir, h. 149).  Pernyataan ini membuka pintu untuk berfatwa tanpa didasari oleh ilmu dan ajakan kepada kekacauan dalam urusan agama. Sedangkan yang disebut mujtahid adalah orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan diakui oleh para ulama lain bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Sementara pimpinan Hizbuttahrir, Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah diakui oleh seorangpun di antara para ulama yang memiliki kredibilitas bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut atau bahkan hanya mendekati sekalipun. Jika demikian mana mungkin Taqiyyuddin menjadi seorang mujtahid ?!. Seseorang baru disebut mujtahid jika ia memiliki perbendaharaan yang cukup tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, mengetahui teks yang ‘Amm dan Khashsh, Muthlaq dan Muqayyad, Mujmal dan Mubayyan, Nasikh dan Mansukh, mengetahui bahwa suatu hadits termasuk yang Mutawatir atau Ahad, Mursal atau Muttashil, ‘Adalah para perawi hadits atau jarh, mengetahui pendapat-pendapat para ulama mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi-generasi setelahnya sehingga mengetahui ijma’ dan yang bukan, mengetahui qiyas yang Jaliyy, Khafiyy, Shahih dan Fasid, mengetahui bahasa Arab yang merupakan bahasa al Qur’an dengan baik, mengetahui prinsip-prinsip aqidah. Juga disyaratkan seseorang untuk dihitung sebagai mujtahid bahwa dia adalah seorang yang adil, cerdas dan hafal ayat-ayat dan hadits-hadits hukum.
10. Para Ulama Islam menjelaskan dalam banyak kitab tentang definisi Dar al Islam dan Dar al Kufr. Mayoritas Ulama mengatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian keadaannya berubah sehingga orang-orang kafir menguasainya, maka negeri tersebut tetap disebut negeri Islam (Dar al Islam ). Adapun menurut Abu Hanifah bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian orang-orang kafir menguasainya, maka negeri itu berubah jadi Dar Kufr dengan tiga syarat.
Adapun Hizbuttahrir menyalahi seluruh Ulama, mereka menyebutkan dalam salah satu buku mereka Kitab Hizbuttahrir, hlm. 17 pernyataan sebagai berikut : “Daerah-daerah yang kita tempati sekarang ini adalah Dar Kufr sebab hukum-hukum yang berlaku adalah hukum-hukum kekufuran. Kondisi ini menyerupai kota Mekkah, tempat diutusnya Rasulullah“.
Pada bagian yang lain kitab Hizbuttahrir, hlm. 32: “Dan di negeri-negeri kaum muslimin sekarang tidak ada satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan-urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung Dar Kufr meskipun penduduknya adalah kaum muslimin“.
Lihatlah wahai pembaca, bagaimana berani mereka menyelewengkan ajaran agama ini dan menjadikan semua negara yang dihuni oleh kaum muslimin  sebagai Dar Kufr termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia.
Referensi
[1] Ibid, Juz I, Bag. Pertama, hlm. 74
[2] Kitab bernama Nizham al Islam, hlm. 22
[3] Kitab bernama as-Sakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I, Bag. Pertama, hlm 120

yasinan

Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah SAW tidak pernah mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bid’ah dan tidak boleh dilakukan.” Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api.

Pernyataan HA tersebut saya jawab: “Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, atau para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, al-Hafizh Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW mengandung beberapa kemungkinan:

Pertama, Nabi SAW meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal. Nabi SAW pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi M bermaksua menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada beliau: “Itu daging biawak yang dipanggang.” Mendengar perkataan itu, Nabi SAW tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, “Apakah daging tersebut haram?” Beliau menjawab: “Tidak haram, tetapi, daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera.” Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Kedua, Nabi SAW meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi SAW lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?” Beliau menjawab: “Saya juga manusia, yang bisa lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan aku.”

Ketiga, Nabi SAW meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Seperti Nabi SAW meninggalkan shalat tarawih setelah para sahabat berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau.

Keempat, Nabi SAW meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi SAW berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi, tempat berditi ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.

Kelima, Nabi SAW meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman Allah :
وافعلوا الخير لعلّكم تفلحون . الحج: ٧٧
“Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hajj: 77).

Keenam, Nabi SAW meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat atau sebagian mereka. Nabi bersabda kepada Aisyah: “Seandainya kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka’bah itu aku bongkar lalu aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-orang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma.” Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi SAW tidak merekonstruksi Ka’bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari kalangan penduduk Makkah.

Kemungkinan juga Nabi SAW meninggalkan suatu hal karena alasan-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini, tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu karena hal itu diharamkan. Demikian pernyataan al- Hafizh Abdullah al-Ghumari dengan disederhanakan.

Berkaitan dengan membaca al-Qur’an atau dzikir secara bersama, al-Imam al-Syaukani telah menegaskan dalam kitabnya, al-Fath al-Rabbai fi Fatawa al-Imam al-Syaukani sebagai berikut:
“Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh al-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala al-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath al-Rabbani min Fatawa al-Imam al-Syaukani, hal 5945).

Pernyataan al-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur’an, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan pernyataan al-Syaukani di atas, membaca al-Qur’an bersama-sama tidak masalah, bahkan dianjurkan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yung menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah dengan cara apapun.
(Disadur dan dipublikasikan Oleh Tim Sarkub dari Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi karya Ust. Muh. Idrus Ramli)

wahabiyah
Oleh: Ustadz Al Fadhil Ahmad Yusuf Al-Anshori hafizhahullah

Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu:

1.  Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur’an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.

2.  Yang dilarang , yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.


Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang  fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah “apa yang diberikan Rasul (dari harta fai’) kepadamu maka terimalah dia” (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan “apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia” dengan makna “apa yang diperintahkan Rasul …” berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut.

Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.
Dalil lain yang mereka ajukan adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian(HR. Bukhari).   


Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti. 

Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid’ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula –terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid’ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan.

Kategori Ketiga

Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu “yang tidak diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian”. Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah “Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu.”

Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “apakah setiap tahun ya Rasulullah?”. Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau bersabda ,“Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”.    

Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.

Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu “yang dilarang”. Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:
“… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. ” (QS. An-Nuur: 63)

Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat “menyalahi” atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah “melakukan apa yang tidak diperintahkan”.

Bila melakukan “yang tidak diperintahkan” adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري) “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai “laysa ‘alaihi amrunaa” dengan arti “yang tidak ada perintah kami atasnya”. Kata “amr” memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata “amara – ya’muru” yang berarti “memerintahkan”. Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf “‘alaa” (atas), maka artinya adalah “menguasai”. Jadi, bila kalimat “amara ‘alaa” berarti “menguasai”, maka kalimat “amarnaa ‘alaihi” berarti “kami menguasainya”, maka kalimat “amrunaa ‘alaihi” atau “‘alaihi amrunaa” amat janggal bila diartikan “perintah kami atasnya”. Karena untuk arti “perintah”, kata “amara” lebih tepat diiringi huruf  “bi” (dengan), seperti firman Allah ta’ala: “Innallaaha ya’muru bil-’adli” (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).

Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid’ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama’ah, do’a berjama’ah, zikir berjama’ah, membaca al-Qur’an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya.

Kata amr pada  “amrunaa” di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah “urusan (agama) kami”. Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, “Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak”. Seandainya pun kata “amrunaa” diartikan sebagai “perintah kami” dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu “amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami”, bukan “ yang tidak ada perintah kami atasnya “. Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)  

“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)

“Tidak sesuai perintah” mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami atasnya “ mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”. Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?

Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai “amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami” juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus. 

Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara “yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian” sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai “rahmat” dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian  bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).    

Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan “Ia telah mendiamkan beberapa hal” tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang “mewajibkan”, “menetapkan batasan”, dan “mengharamkan”. Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta’ala ”mendiamkan beberapa hal” maka itu artinya “Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok  yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan”. Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.

Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai “rahmat” ??!        

Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan “maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari’atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang “rahmat” sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum “boleh” atau “tidak”nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.

Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya “rahmat” akan tetap dianggap “rahmat” sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara “perkara baru di dalam ajaran agama” dan “perkara baru yang berbau agama”. 

Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama “perkara baru di dalam ajaran agama” dengan “perkara baru yang berbau agama”, dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid’ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat “rahmat” yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana “rahmat” yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau.

Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap “rahmat” yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur’an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo’a berjama’ah, tentang do’a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata “tidak ada dalilnya” atau “tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya”.

Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:

كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا  

“Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan” (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya “Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah”, dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah  karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).

Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian “ibadah” tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:

اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ  

“Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)” atau dalam kaidah lain, “Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada dalil yang menyuruhnya.”

Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do’a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.

Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo’a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum’at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?

Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid’ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.

Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra’ & Mi’raj, tahlilan, zikir berjama’ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya’ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi’in.