thumbnail-cadangan Renungando'a Ya allah, berikan cahaya dalam hati ini, cahaya dalam pendengaran ini, cahaya pada penglihatan ini, cahaya dalam rambut ini, tulang ini, daging ini, darah ini dan berilah cahaya di

GURU MURSYID bagian 3 (habis)


Kemaksuman dan wahyu bagi Guru Mursyid
Kemaksuman adalah kualitas batin akibat pengendalian diri yang memancar dari sumber keyakinan, ketakwaan dan wawasan yang luas. Sifat batin yang sangat kuat ini begitu efektif sehingga mampu menghalangi manusia untuk melakukan semua jenis dosa atau pemberontakan, baik besar maupun kecil, baik tersembunyi maupun terbuka.
Maka dapat kita katakana bahwa factor-faktor yang mengarahkan kepada pengingkaran dan dosa tidak memiliki efek pada orang seperti itu, sehingga maksum disini lebih menekankan bahwa ia memiliki kebebasan untuk memilih dan berbuat, tapi ia dicegah untuk mendekati wilayah dosa oleh kesadaran dari sifat agungnya dan hadirnya Allah secara terus menerus.
Umumnya melakukan dosa adalah akibat dari tidak mengetahui buruknya perbuatan tersebut dan konsekuensinya, atau orang sadar akan buruknya, dan keyakinannya memperingatkan dan menasehati akan bahayanya perbuatan itu, namun ia terus ditopang oleh keinginannya (nafsu/angan) sampai kehilangan semua diri, sehingga jatuh dalam perbuatan dosa. Sehingga diperlukannya perhatian terhadap konsekuensi dari perbuatan seseorang, meningkatkan ketakwaan, dan pemahaman secara sempurna tentang kepatuhan terhadap hukum Allah, maka akan menciptakan kemaksuman tertentu dalam diri manusia, setelah itu tidak lagi dibutuhkan sarana pengendalian dan control diri.
Orang-orang akan tunduk secara total terhadap tuntunan-tuntunan guru mursyid mereka dan sepakat menerima perintahnya ketika mereka menganggap semua perintah itu sebagai perintah dari Allah, tanpa ada rasa ragu sedikitpun dalam persoalan ini. Jika seseorang tidak benar-benar terjaga dari dosa, apakah kata-katanya dapat ditaati dengan penuh dedikasi?
Dampak kemaksuman adalah seperti itu, sehingga ia melindungi manusia dari tipuan dunia ini dan memungkinkan dia untuk tabah menghadapi semua bentuk gangguan.
Kemaksuman ini tidak bisa hanya dibatasi pada periode yang didalamnya sudah benar-benar jadi mursyid, namun dalam hidupnya, termasuk periode sebelum menjabat mursyid, hatinya harus bebas dari semua kegelapan dan kepribadiannya terbebas dari dosa. Disamping kenyataannya perbuatan dosa menyebabkan hilangnya martabat manusia, orang-orang selalu menganggap berlanjutnya dosa dan penyelewengan yang telah mereka ketahui dia lakukan dimasa silam, sekalipun hanya yang kecil-kecil saja. Tuduhan ini pada gilirannya akan merampas kemursyidan seseorang, karena ia tidak lagi dianggap sebagai tauladan ketakwaan dan kesucian. Karena kenangan pahit tentang kehidupan yang sebagiannya dihabiskan dalam dosa tidak akan pernah bisa dihapus.
Sehingga syarat pertama dan utama untuk jabatan mursyid adalah kesucian batin, ketakwaan yang mendalam, dijaga oleh Allah dari melakukan dosa (Maksum/mahfudz), dan memiliki hati yang sangat baik sebelum dan sesudah terpilih untuk menjabat sebagai mursyid, serta ia merupakan keturunan dari Nabi saw.
Karena seungguhnya Allah telah menguraikan ayat kesucian dan karakter khas mereka sebagai berikut;
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahuludan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab; 33)
Kebenaran dan kemaksuman mursyid termanifestasi dalam ucapan, perbuatan, dan pemikiran karena pengetahuan mereka sebagai akibat dari wahyu atau ilham.
Wahyu/ilham ini tidak akan berhenti hanya dalam fase kenabian saja, namun tetap berlanjut kedalam fase setelahnya (fase kemursyidan).
وخبر لاوحي بعدى باطل.  ومااشتهر أن جبريل عليه السلام لاينـزل إلى الأرض بعد موت النبي صلى الله عليه وسلم فهو لاأصل له (الفتاوى الحديثية ص 129)
“dan berita tentang tidak ada wahyu setelahku (setelah nabi Muhammad) adalah salah, dan berita yang masyhur bahwa sesungguhnya Jibril tidak turun kebumi setelah wafatnya Nabi saw. adalah tidak ada dasar hukumnya” (Fatawil Hadisiyah).
Dari kutipan kitab tersebut menjelaskan akan adanya wahyu setelah kenabian Muhammad saw. Karena pada dasarnya wahyu adalah ilham atau petunjuk Allah kepada hambanya yang istimewa. Seperti halnya wahyu atau ilham yang disampaikan Allah sebagai berikut;
والوحي بمعناه اللغوى يتناول الإلهام الفطرى للإنسان كالوحي إلى أم موسى (وأوحينا إلى أم موسى أن أرضعيه, القصص 7) التفسير وعلومه ص 5_
“dan Wahyu menurut arti bahasa adalah mendapatkan ilham yang lembut bagi manusia seperti halnya wahyu kepada ibunya Nabi Musa (dan aku wahyukan kepada ummi Musa; susuilah dia (musa)”.   
Sehingga dapat disimpulkan bahwa wahyu/ilham bukan hanya terbatas kepada para nabi saja melainkan kepada orang-orang yang diistimewakan oleh Allah bisa terjadi khususnya kepada Guru Mursyid, karena ia ditugaskan oleh Allah untuk membimbing ummat dengan berdasarkan pada petunjuk Al-quran. Dari keterangan tersebut kita juga dapat memetakan bahwa term wahyu dikhususkan untuk para Nabi, sedangkan term Ilham dikonotasikan untuk para wali Allah.
Penafsiran makna batin dari Al-quran adalah pengetahuan yang berasal dari dunia tak Nampak; dengan kata lain ia bukan pengetahuan yang bisa diperoleh melalui cara-cara konvensional. Penafsiran sesungguhya hanya bisa diperoleh dari karunia Allah swt. Al-quran menyatakan;
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(As. Ali Imran: 7)
Penutup
Allah sajalah yang berhak memilih seseorang sebagai guru umat manusia dan pembimbing ummat, untuk menjelaskan hokum-hukum-Nya, untuk menginterpretasikan masalah-masalah kompleks dalam Al-quran, dan untuk mempertahankan kebenaran dan mengembangkan kepribadian ummat. Allah mempercayakan jabatan ini kepada orang istimewa dan memiliki sifat maksum/mahfudz yang benar-benar unik dalam kualitas spiritualnya, atribut lahir batinnya serta komunikasi dengan dunia yang tersembunyi. Orang seperti ini memahami kebenaran batin dari sesuatu dengan mata batinnya, ia selalu menghadap pada kebenaran dengan cara yang sedemikian rupa, keyakinannya tidak pernah menyeleweng dan perbuatannya tidak pernah menyimpang dari jalan yang benar, karena segala sesuatunya atas kehendak Allah swt. Sehingga guru mursyid adalah orang yang paling mulia dimasanya, yang paling unggul dari sahabat seangkatannya.
LAMPIRAN
عَلَى خُلَفَائِى رَحْمَةُ اللهِ قِيْلَ وَمَنْ خُلَفَائُكَ قَالَ الَّذِيْنَ يُحْيُوْنَ سُنَّتِى وَيُعَلِّمُوْنَهَا عِبَادَ اللهِ
"Semoga rohmat Allah ditetapkan bagi para kholifahku. Beliau ditanya: siapakah para kholifahmu tuan? Beliau menjawab: mereka adalah orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah."[1]
تَنَقَّلَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى سَيِّدِ الْبَشَرِ# إِلَى ظَهْرِ آدَمَ كَانَ أَضْوَا مِنَ الْقَمَرِ
"Nur Rosulullah yang terpilih pimpinan manusia, berpindah kepunggung nabi adam. Nur itu lebih terang dari pada rembulan."[2]
وَاعْلَمْ أَنَّ مُحَمَّدًا ص م. أَعْطَي جَمِيْعَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ مَقَامَاتِهِمْ فِى عَالَمِ اْلأَرْوَاحِ حَتىَّ بَعَثَ بِجِسْمِهِ عَلَيْهِ السَّلاَم وَاتَّبَعْنَاهُ وَالْتَحَقَ بِهِ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ فِى الْحُكْمِ مَنْ شَاهَدَهُ أَوْ نَزَلَ بَعْدَهُ
"Dan ketahuilah bahwa Muhammad saw. memberikan kepada semua nabi dan rosul kedudukan-kedudukan atau derajat-derajat mereka di alam arwah sampai ia diutus dengan rupa jasadnya (dialam dunia) dan kita mengikutinya. Dan secara hukum dapat dipertemukan dengan beliau diantara para nabi, orang-orang yang menyaksikan beliau, atau turun sesudah beliau."[3]
Mudrik menadzomkan sebagai berikut:
Sapa wonge nemu guru sifat papat
Gandulana poma-poma ingkang kuat
Ingkang dingin sifat ipun mu'ayyidin
Nguwataken ing agama kelawan yakin
Ingkang kapindo sifat ipun zahidin
Ora jejaluk ing menusa sarta jin
Ingkang kaping telu sifat ipun musyfikin
Kang makani ewon-ewon fakir miskin
Kang kaping pat ru'afa lil mu'minin
Kang muruki wong bodo sehingga yakin
Mungguh kula iku abah umar
Ingkang muruki syahadat ora samar






[1]"Raudhatul Muhadditsin", hadis ke 4928
[2]Madarijus Su'ud hal 4
[3] "Khozinatul Asror", hal. 194
Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim Munjul
Editor: Yusuf Muhajir Ilallah

GURU MURSYID bagian 2


Guru Mursyid sebagai Wasilah Kepada Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Ayat ini berisi perintah bahwa manusia wajib mencari dan menemukan wasilah Allah. Menurut versi sufi wasilah dalam ayat ini bermakna Nurun ala Nur,  karena ia membawa peranan untuk menghantar, menuntun jiwa/rohani manusia yang telah disucikan agar sampai kehadirat-Nya.
Kalau Rasulullah menggunakan Buraq sebagai wasilah untuk dapat mencapai kehadirat Allah, berarti kitapun harus memakai wasilah. Wasilah Allah itu telah tertanam dalam diri Rasulullah saw., maka untuk mendapatkannya salah satunya adalah dengan menggabungkan rohani suci Rasulullah melalui saluran rohani seorang guru yang mursyid.
وَلَمَّا وَرَدَ فِى الْحَدِيْثِ  كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ
"dan berdasarkan riwayat dalam hadits tetaplah kamu bersama Allah dan jika tidak, maka tetaplah bersama orang yang selalu bersama Allah. Sesungguhnya ia akan mengantar kamu kepada Allah, jika kamu terus bersamanya."
Jadi, titik berat daripada ajaran tasawwuf adalah mewajibkan penganutnya untuk memiliki wasilah Allah sebagai kendaraan rohani agar dapat berhubungan dengan segala hal yang berkaitan dengan aspek rohaniyah bukan yang bersifat jasmaniyah.
Diri rohani para Nabi dan Rasul, para Wali Allah, serta Rohani orang-orang mukmin sudah pasti dipenuhi oleh energy ilahi yang mempunyai kekuatan dan getaran yang maha tinggi. Kekuatan itu satu-satunya yang mampu menghadang kekuatan iblis dalam diri, dan menghadang api neraka.
Manusia harus berjuang melalui jalan tarekatullah bila hendak mendapatkan energy ilahi tersebut. disamping itu pula harus memahami hakikat daripada dimensi jasmani dan rohani. Sebab tertibnya rukun dan syarat berkaitan dengan jasmani belum bisa dikatakan cukup untuk mendapatkan energy ilahi tadi. Akan tetapi, masih memerlukan sisi lain yang berhubungan dengan rohani, rahasia ini ada dalam diri guru yang mursyid.
Kriteria Guru Mursyid
Tidak mudah untuk menyandang predikat guru mursyid kalau bukan Allah sendiri yang menunjuknya. Secara khusus para ulama memberikan criteria atau cirri-ciri guru mursid sebagai berikut;
وَشُرُوْطُ الشَّيْخِ الَّذِى يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ نَائِبًا لِرَسُوْلِ اللهِ ص م. أَنْ يَكُوْنَ تَابِعًا لِشَيْخٍ بَصِيْرٍ يَتَسَلْسَلُ إِلَى سَيِّدِ الْكَوْنَيْنِ ص م. وَأَنْ يَكُوْنَ عَالِمًا لِأَنَّ الْجَاهِلَ لاَيَصْلُحُ لِلإِرْشَادِ وَأَنْ يَكُوْنَ مُعْرِضًا عَنْ حُبِّ الدُّنْيَا وَحُبُّ الْجَاهِ وَيَكُوْنَ مُحْسِنًا لِرِيَاضَةِ نَفْسِهِ
"Syarat-syarat guru yang patut menjadi pengganti Rasulullah adalah;
-       mengikuti seorang guru yang dapat melihat (dengan hati) yang menyambung (sanadnya) sampai kepada Rasulullah, sang pemimpin dua makhluk (jin dan manusia).
-       Harus Alim (menguasai ilmu dzahir dan bathin), sebab orang yang bodoh tidak bisa menjadi penunjuk kebenaran.
-       Selalu berpaling dengan kecintaan kepada dunia dan kedudukan.
-       Selalu dapat melatih jiwanya."[1]
وَيَخْتَارُهُ لِلصَّحْبَةِ مِنَ اْلأَئِمَّةِ الْمُؤَيِّدِيْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى بِنُوْرِ الْبَصِيْرَةِ الزَّاهِدِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ فِى هَذَا الْعَرَضِ الْحَاضِرِ الْمُشْفِقِيْنَ عَلَى الْمَسَاكِيْنِ الرُّؤَفَاءِ عَلَى ضُعَفَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ فَمَنْ وَجَدَ أَحَدًا عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ فِى هَذَا الزَّمَانِ الْقَلِيْلِ الْخَيْرِ جِدًّا فَلْيَشُدَّ يَدَهُ عَلَيْهِ وَلِيَعْلَمَ أَنَّهُ لاَيَجِدُ لَهُ ثَانِيًا    (أم البراهين ص 69)
"Dan Ulama memilih untuk berguru kepada imam-imam Muayyidin (yang menguatkan) agama Allah dengan nur pengawasannya, yang zuhud (Zahidin) terhadap/dari dunia (harta), yang mengasihi (musyfiqin) orang-orang miskin, yang lembut dan kasih sayang (ru'afa) kepada orang-orang mukmin yang lemah. Maka barang siapa menemukan seseorang yang bersifat seperti sifat ini pada zaman yang sangat sedikit kebaikannya ini, maka berpegang kuatlah dan belajarlah kepadanya, karena sesungguhnya ia itu tiada duanya".[2]
فَمَنْ لَمْ تَتَّصِلُ سِلْسِلَتُهُ إِلَى الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْفَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا لِرَسُوْلِ اللهِ ص م. وَلاَ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةَ وَاْلإِجَازَةَ
وَلِمَا أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِى عَنْ عَبْدِ الله بن بِسْرِ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله ص م. طُوْبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوْبَى لِمَنْ رَآى مَنْ رَآنِى وَ لِمَنْ رَآى مَنْ رَآى مَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ
وَلِهَذَا جَرَتْ التَّأْثِيْرَاتُ مِنَ الْمَشَايِخِ لِلْمُرِيْدِيْنَ وَيَجْرِى إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ لِأَنَّ إِسْنَادَ الْحَالِ كَإِسْنَادِ اْلأَحْكاَمِ
"Maka barangsiapa (guru) yang tidak menyambung silsilahnya sampai kepada Rasulullah, maka sesungguhnya ia terputus dari limpahan (barakah/rahmat) dan ia bukan pewaris Rasulullah saw. dan kita tidak boleh mengambil baiat dan ijazah darinya
dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani dari Abdullah bin Bisr ra. Bahwa sesungguhnya ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Alangkah bahagianya orang yang melihatku dan beriman kepadaku, betapa bahagianya orang yang melihat orang-orang yang melihatku, dan alangkah bahagianya orang yang melihat orang-orang yang melihat pada orang yang melihatku dan beriman kepadaku, alangkah bahagianya mereka, dan (bagi mereka) tempat kembali yang baik.
Maka dari itu berlaku pengaruh-pengaruh para guru terhadap murid-murid mereka, dan (hal ini) berjalan terus sampai akhir zaman. Sebab, sanad dalam `hal` sama dengan sanad dalam hukum."[3]

[1]Khozinatul Asror hal. 194 (lihat pula dalam kitab Tanwirul Kulub hal. 525)
[2]Sayyid Muhammad As-Sanusi, "Ummul Barahin" hal. 69, Maktabah Karya Toha Putra, Semarang.
[3]Khozinatul Asror hal. 188-189
Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim Munjul
Editor: Yusuf Muhajir Ilallah

thumbnail-cadangan GURU MURSYID bagian 2 Guru Mursyid sebagai Wasilah Kepada Allahيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَHai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)Ayat ini

GURU MURSYID bagian 1 

Pendahuluan
Guru Mursyid /Imam adalah pemimpin dan teladan bagi masa yang membentuk ummah (masyarakat). Guru disini adalah orang yang terjaga dari dosa (Mahfudz) yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penerusnya atas perintah Allah.
Imamah (kholifah) dan ummat menurut pendekatan sosiologi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan, karena ketiadaan imamah menjadi sumber munculnya problem-problem ummat, dengan demikian imam/guru adalah mursyid, insan kamil, dan syahid (saksi) karena tanpa adanya mursyid maka ummat manusia akan mengalami disorientasi (kehilangan arah) dan alienasi (keterasingan).
Dalam pandangan ilmu tasawwuf guru mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk manusia ketingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi Al-quran telah tertanam dalam dirinya.  Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti karena guru mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.
Guru Mursyid sebagai Keharusan Rasional
Ia adalah seorang guru yang mendapatkan Nur Ilahi sehingga ia dapat dikatakan sebagai guru mursyid, dan kata mursyid tersebut dapat diartikan sebagai nur ilahi.
نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ
Cahaya diatas cahaya. Tuhan akan menuntun cahaya-Nya. Siapa yang dikehendaki-Nya (Qs. An-Nur; 35)
Jadi hakikatnya mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk kedalam rumah wujud barulah ia memiliki wujud. Dan mursyid itu tidaklah banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lubang sehingga kelihatannya banyak namun pada hakikatnya hanya satu. Dan untuk dapat bermanfaat dalam mendekatkan diri dengan Allah maka nur tersebut harus dimasukkan kedalam jiwa (bukan kedalam akal dan pikiran).
Memasukkan Nur Ilahi kedalam diri tentu tidaklah mudah, harus ada metodologinya, dan metodologi tersebut ada dalam tarekatullah yang hak dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid, (setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan) karena guru mursyid adalah kholifah rosul yang mampu mengajarkan segala sesuatu yang telah diwariskan oleh Rasul [1]yang secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi Nur Ilahi secara langsung dari Rasulullah saw.[2]
Keutamaan Berguru
Salah satu fungsi dan sifat guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah posisi (maqom) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada orang-orang pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat mempengaruhi pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat dengan pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya, sehingga mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang keinginan-keinginan intuitif dan kecenderungan terhadap penyelewengan-penyelewengan batin.
Mursyid adalah orang yang menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan spiritual, dan dipercaya untuk mengemban tugas pembimbingan spiritual,   ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan kondisi jabatan imam dengan pernyataan;
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya; 73)
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
 (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)
Kesimpulannya ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa imamah/khalifah adalah ikatan ilahiyah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah yang dalam hal ini keturunan Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah yang paling sempurna diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw., dan para imam yang ma’sum/mahfudz,  sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi kepercayaan dengan tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.
Syekh Abu Yazid Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru
قَالَ أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ (وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ (خزينة الأسرار ص 189)
"Abu Yazid Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami: barang siapa yang tidak memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh syetan."
Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).




[1][1]Raudhatul Muhadditsin hadis ke 4928
[2]Khozinatul asror hal. 194 dan Madarijussuud hal. 4
Nara Sumber: K. Zaenal Abidin Kanci dan K. Drs. Hasan Makmum
Penulis: Ustadz Abdul Hakim Munjul
Editor: Yusuf Muhajir Ilallah 


http://i2.wp.com/alqiyamah.files.wordpress.com/2008/09/syaikh-ahmad-syakir.jpg?w=610 
Beliau adalah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir bin Muhammad bin Ahmad bin Abdil Qadir. Beliau lahir di Kairo Mesir pada tanggal 29 Jumadil Akhir 1309 (sekitar akhir abad ke-19), pada hari Jum’at ketika fajar menyingsing. Beliau masih keturunan shahabat Rasulullah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Asy-Syaikh Ahmad Syakir mulai menjadi seorang penuntut ilmu sejak usianya belumlah mencapai sepuluh tahun. Ayah beliaulah yang menjadi guru utama beliau. Beliau belajar berbagai cabang ilmu. Ketika ayahnya yang sebelumnya adalah kepala hakim di Sudan pindah ke kota Iskandariyah, Asy-Syaikh Ahmad Syakir juga turut serta. Beliau pun kemudian tumbuh terbimbing di lingkungan ulama. Di antara ulama tersebut adalah Asy-Syaikh Abdussalam Al-Faqi, dimana beliau belajar syair dan sastra Arab dari beliau. Waktu itu usia beliau belumlah sampai 20 tahun, akan tetapi beliau telah bersemangat untuk mempelajari ilmu hadits.
Ketika ayahnya diangkat menjadi wakil rektor Universitas Al-Azhar, Asy-Syaikh Ahmad Syakir juga ikut belajar di Universitas tersebut. Di sana beliau belajar dari beberapa orang ulama, di antaranya: Asy-Syaikh Ahmad Asy-Syinqithi, Asy-Syaikh Syakir Al-Iraqi dan Asy-Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi.
Menurut kesaksian Asy-Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi -salah seorang sahabat beliau-, Asy-Syaikh Ahmad Syakir memiliki kesabaran yang begitu tinggi. Hapalannya pun kuat tidak tertandingi. Beliau juga memiliki kemampuan tinggi dalam memahami hadits dan bagus mengungkapkannya dengan akal dan nash. Beliau juga dalam pandangan ilmunya serta tidak taqlid kepada seorang pun.
Asy-Syaikh Ahmad Syakir telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi dunia Islam. Beliau telah memberikan ta’liq dan tahqiq (komentar serta pembahasan yang teliti) kepada banyak karya ulama.
Di antara karya beliau adalah:
  • Syarh Musnad Imam Ahmad (belum selesai sampai beliau wafat)
  • Tahqiq terhadap Al-Ihkam karya Ibnu Hazm
  • Tahqiq terhadap Alfiyatul Hadits karya As-Suyuthi
  • Takhrij terhadap Tafsir At-Thabari bersama saudara beliau Mahmud Syakir
  • Tahqiq terhadap kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam
  • Tahqiq terhadap kitab Ar-Raudathun Nadhiyah karya Shiddiq Hasan Khan
  • Syarh Sunan At-Tirmidzi (belum selesai sampai beliau wafat)
  • Tahqiq Syarh Aqidah Thahawiyah
  • Umdatut Tafsir ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (belum selesai sampai beliau wafat)
  • Ta’liq dan Tahqiq terhadap Al-Muhalla karya Ibnu Hazm.
Asy-Syaikh Ahmad Syakir wafat pada hari Sabtu tanggal 26 Dzulqa’dah 1377 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Juni 1958. Karya-karya beliau senantiasa menjadi rujukan para ulama. Termasuk ahli hadits di masa kita ini, yaitu Asy-Syaikh Albani rahimahullah.(*)
Sumber : http://ahlulhadits.wordpress.com


http://i0.wp.com/alqiyamah.files.wordpress.com/2010/02/kitabattawheed-lg.jpg?w=610 
Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berikut ini disusun oleh Abdurrazzaq bin Shalih An-Nahmi, salah seorang thalibul ilmi di Darul Hadits Dammaj, di mana riset beliau terhadap karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah” mendapat pujian dari banyak ulama Yaman. Setidaknya lima orang ulama besar Yaman memberikan rekomendasi untuk membaca hasil riset beliau tersebut yang insya Allah dalam waktu dekat akan hadir terjemahannya di negeri kita biidznillahi ta’ala.

Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang beliau tulis adalah sebagai berikut:

1. Nasab dan pertumbuhan beliau
Beliau adalah Asy-Syaikh Al-Imam Al-Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barra bin Musyrif At-Tamimi.

Kelahiran Beliau
Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1115 dari Hijrah Nabi –semoga shalawat dan salam yang paling afdhal tercurah atas beliau- di kota ‘Uyainah yang masih masuk wilayah Najd, sebelah barat dari kota Riyadh, jaraknya dengan kota Riyadh sekitar perjalanan 70 km.

Pertumbuhan Beliau
Beliau tumbuh dan besar di negeri ‘Uyainah dan menimba ilmu di sana. Beliau hafal Al-Qur’an sebelum umur 10 tahun. Beliau seorang yang jenius dan cepat memahami. Di bawah asuhan bapaknya sendiri beliau belajar fikih mazhab Hambali, tafsir, hadits, aqidah dan beberapa bidang ilmu syar’i serta bahasa. Beliau sangat menaruh perhatian besar terhadap kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumallah, sehingga beliau terpengaruh oleh keduanya dan berjalan di atas jalan mereka dalam mementingkan masalah aqidah yang benar, mendakwahkannya, membelanya dan memperingatkan dari perbuatan menyekutukan Allah, bid’ah serta khurafat.

2. Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Beliau mengadakan rihlah (perjalanan) menuju Mekkah untuk menunaikan kewajiban haji dan mencari bekal ilmu syar’i. Kemudian beliau rihlah ke Madinah Nabawiyyah dan di sana bertemu dengan dua syaikh yang alim lagi mulia, yang mana keduanya mempunyai pengaruh terbesar dalam kehidupan beliau, mereka adalah Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif An-Najdi dan Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim As-Sindi. Lantas beliau rihlah ke Bashrah dan beliau mendengarkan hadits, fikih dan membacakan nahwu kepada gurunya sampai menguasainya. Kemudian beliau rihlah ke daerah Ahsa’ dan bertemu dengan syaikh-syaikh Ahsa’, di antaranya Abdullah bin Abdul Lathif seorang hakim.

3. Kiprah Beliau dalam Menyerukan Tauhid
Beliau pulang ke daerah Huraimala’, karena ayah beliau dulunya seorang hakim di ‘Uyainah, lantas terjadi pertentangan antara beliau dengan pemimpin ‘Uyainah sehingga beliau pindah ke Huraimala’ pada tahun 1139 dan menetap di sana menyeru kepada tauhid dan memperingatkan dari kesyirikan sampai ayah beliau meninggal pada tahun 1153 H.

Lantas sebagian orang-orang jelek lagi jahat melakukan konspirasi untuk mencelakakan beliau disebabkan beliau senantiasa mengingkari kefasikan dan kejahatan mereka, sampai-sampai mereka hendak membunuh beliau. Kemudian beliau beritahukan perihal mereka kepada beberapa orang sehingga akhirnya mereka lari. Lalu setelah konspirasi tersebut berhasil menyudutkan Asy-Syaikh, beliau pun berpindah ke ‘Uyainah dan beliau tawarkan dakwahnya kepada pemimpin ‘Uyainah yang ketika itu pemimpinnya adalah Utsman bin Ma’mar.

Pimpinan ‘Uyainah pun menyambut beliau, membantunya, mendukungnya dan bersama dengan beliau menghancurkan kubah Zaid bin Al-Khatthab dan menghancurkan beberapa kubah serta kubur yang dibangun, bahkan bersama beliau merajam seorang wanita yang datang mengaku telah berzina padahal dia muhshan (telah pernah menikah- ed).

Ketika beliau menghancurkan kubah dan melakukan rajam dalam masalah zina, maka menjadi masyhurlah perkara beliau dan tersiarlah reputasi baik beliau. Masyarakat pun mendengar tentang beliau, dan berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya membantu beliau sehingga semakin besarlah kekuatan beliau.
Kemudian, sampailah berita perbuatan Asy-Syaikh menghancurkan kubah dan kubur serta penegakan hukum had kepada pemerintah Ahsa’ dan sekutu-sekutunya. Hal ini membuat pemerintah Ahsa’ merasa khawatir terhadap kerajaannya dan memerintahkan kepada Utsman bin Ma’mar untuk membunuh Asy-Syaikh atau mengusirnya dari ‘Uyainah. Jika tidak dilakukan, maka akan diputus upeti darinya. Maka Utsman bin Ma’mar akhirnya menerima desakan ini dan memerintahkan Asy-Syaikh agar keluar dari ‘Uyainah dan beliaupun keluar darinya menuju Dir’iyyah. Hal itu terjadi pada tahun 1158 H.

Di Dir’iyyah beliau singgah sebagai tamu Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini, lantas pemimpin Dir’iyyah Muhammad bin Su’ud mengetahui akan kedatangan Asy-Syaikh. Dan disebutkan bahwa yang memberitahukan kedatangan Asy-Syaikh adalah isteri Ibn Su’ud sendiri.
Beberapa orang shalih mendatangi wanita tersebut dan berkata kepadanya,
“Beritahukan kepada Muhammad (Ibn Su’ud –ed) tentang orang ini! Semangatilah dia untuk mau membelanya dan beri motivasi kepadanya agar mau mendukung serta membantunya.”

Istri Muhammad adalah seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. Ketika sang amir Muhammad bin Su’ud pemimpin Dir’iyyah dan sekitarnya masuk menemui istrinya, istrinya pun berkata kepadanya,
“Bergembiralah dengan ghanimah (anugerah) yang besar ini. Ini adalah ghanimah yang Allah kirimkan kepadamu, seorang lelaki yang menyeru kepada agama Allah, menyeru kepada Kitabullah, menyeru kepada sunnah Rasulullah. Sungguh betapa ghanimah yang begitu besar. Bersegeralah menerimanya, bersegeralah menolongnya, dan jangan kamu berhenti saja dalam hal itu selamanya.”

Sang amir pun menerima saran istrinya dan sungguh bagus apa yang dilakukannya rahimahullah. Amir pergi ke kediaman Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini dan berkata kepada Asy-Syaikh,
“Bergembiralah dengan pertolongan dan bergembiralah dengan keamanan.”
Maka Asy-Syaikh berkata kepadanya,

“Dan Anda juga bergembiralah dengan pertolongan, bergembiralah dengan kekokohan dan kesudahan yang terpuji. Ini adalah agama Allah, siapa yang menolongnya niscaya Allah akan menolongnya. Siapa yang mendukungnya niscaya Allah akan mendukungnya.”
Kemudian amir berkata kepada Asy-Syaikh,

“Aku akan membaiatmu di atas agama Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah. Akan tetapi aku khawatir jika kami telah mendukungmu dan membantumu lantas Allah memenangkanmu atas musuh-musuh Islam lantas engkau menginginkan selain bumi kami dan berpindah dari kami ke tempat lain.”
Maka Asy-Syaikh menanggapinya,

“Bentangkan tanganmu, aku akan membaiatmu bahwa darah dibalas dengan darah, kehancuran dengan kehancuran dan aku membaiatmu untuk tetap tinggal bersama kalian dan aku tidak akan keluar dari negerimu selamanya.”

Demikianlah, Asy-Syaikh tinggal di Dir’iyyah dalam keadaan dihormati dan didukung sepenuhnya, menyeru kepada tauhid dan memperingatkan dari syirik. Orang-orang pun berdatangan, baik secara berkelompok maupun individu. Beliau mengajarkan aqidah, Al-Qur’an Al-Karim, tafsir, fikih, hadits, musthalah hadits, berbagai ilmu bahasa Arab dan tarikh.

Beliau biasa berkirim surat dengan para ulama dan umara dari berbagai negeri dan penjuru, menyeru mereka kepada agama Allah sehingga tersebarlah dakwah beliau. Setelah itu semakin banyaklah kedengkian, mereka lantas berhimpun dan bersatu menentang beliau. Maka amir mengobarkan jihad dengan pedang dan tombak, dan peristiwa itu terjadi pada tahun 1158 H.

Asy-Syaikh membantunya sampai akhirnya dakwah beliau tersebar menyeluruh sampai ke penjuru alam dan gaungnya masih senantiasa bergema sampai hari ini.

4. Sanjungan para ulama terhadap beliau
Para ulama betul-betul mengenal Imam ini dan memberikan pujian kepadanya, bahkan mereka sampai menulis biografi tentangnya. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Husain bin Ghanam. Beliau banyak menulis tentang Asy-Syaikh, memujinya dan menyebutkan kisah perjalanan hidupnya dalam kitab Raudhatul Anzhar wal Afham.

Di antara mereka juga Asy-Syaikh Utsman bin Bisyr, yang memujinya dalam kitab ‘Unwanul Majdi fi Tarikhi Majdin, dan Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadqi menulis tentang beliau dalam kitab yang diberi judul Al-Mushlih Al-Mazhlum.

Di antara yang memuji beliau juga orang alimnya Yaman yaitu Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani dalam sebuah qoshidah panjang yang awalnya:
“Salam bagi Najd dan orang yang tinggal di Najd
Meskipun salamku dari kejauhan ini tiada berguna
Sungguh aku telah mendatangkan siraman kehidupan dari kaki bukit Shan’a
Dia didik dan dia hidupkan dengan tertawanya guntur
Aku berjalan seperti orang yang digerakkan mencari angin, jika kuberjalan
Wahai putera Najd kapan engkau akan beranjak dari Najd
Perjalananmu dan para penduduk Najd mengingatkanku akan Najd
Sungguh sepak terjangmu menjadikanku semakin cinta
Selamanya, dan bertanyalah kepadaku tentang seorang alim yang singgah di negeri Najd
Dengannya terpetunjuk orang yang dulunya sesat dari jalan yang lurus
Muhammad yang memberikan petunjuk kepada sunnah Ahmad
Alangkah indahnya yang memberi petunjuk dan alangkah indahnya yang diberi petunjuk.”


Sampai beliau berkata,
“Sungguh telah datang berita darinya bahwa dia
mengembalikan kepada kita syariat yang mulia
dengan apa yang ditampakkannya
Dan dia sebarkan secara terang-terangan apa
yang disembunyikan oleh setiap orang bodoh
Dan ahli bid’ah, sehingga sesuailah dengan apa yang aku punya
Dia dirikan tiang-tiang syari’at yang dulunya roboh
Monumen-monumen yang padanya manusia tersesat dari petunjuk
Dengannya mereka mengembalikan makna Suwa dan yang semisalnya
Yaghuts dan Wadd, betapa jelek Wadd itu
Sungguh mereka menyebut-nyebut namanya ketika terjadi kesusahan
Sebagaimana seorang yang terpepet memanggil Dzat
tempat bergantung lagi Maha Esa
Betapa banyak sembelihan yang mereka persembahkan di pelatarannya
disembelih untuk selain Allah secara terang-terangan disengaja
betapa banyak orang yang thawaf di sekitar kubur sambil mencium
dan mengusap pojok-pojoknya dengan tangan”
(Diwan Ash-Shan’ani, hal 128-129)

Di antara ulama yang memuji beliau juga Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani tokoh hakim di wilayah Yaman sebagaimana dalam kitabnya Al-Badru Ath-Thali’ tentang biografi Ghalib bin Musa’id sang amir Mekkah. Beliau berkata dalam komentarnya terhadap sebagian risalah Asy-Syaikh,
“Itu merupakan risalah-risalah yang bagus yang memuat dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan bahwa yang menjawabnya merupakan ulama peneliti yang benar-benar paham terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Kemudian beliau melantunkan sajak-sajak kesedihan setelah wafatnya syaikh.
Al-‘Allamah Ibnu Badran berkata tentang beliau dalam kitabnya Al-Madkhal hal. 447,
“Seorang alim yang komitmen terhadap atsar dan imam yang besar, Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau melakukan rihlah untuk menuntut ilmu dan para ahli hadits di masanya memberikan ijazah kepada beliau untuk meriwayatkan kitab-kitab hadits dan yang lainnya. Ketika kantong penyimpanannya telah penuh dari atsar dan ilmu sunnah, serta menguasai mazhab Ahmad, beliau mulai membela al-haq dan memerangi bid’ah, serta menentang ajaran yang disusupkan oleh orang-orang bodoh ke dalam agama ini.”

Adapun ulama masa kini yang memberikan sanjungan kepada beliau di antaranya Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan guru kami Al-Wadi’i rahimahumullah.
Dan di sini aku senang menyebutkan sebagian pujian guruku Al-Imam Al-Wadi’i terhadap Asy-Syaikh Al-Imam Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah ditanya -sebagaimana dalam Al-Mushara’ah hal. 400- tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka beliau berkata,

“Adapun dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sungguh merupakan dakwah yang diberkahi. Dan jika engkau membaca kitab beliau Kitab At-Tauhid, maka engkau akan dapati beliau berdalil dengan Al-Qur’an dan hadits nabi. Sama saja apakah dalam bab menggantungkan jimat-jimat dan rajah-rajah, bab berdoa kepada selain Allah, ataupun dalam bab peringatan keras dari membangun kubur. Engkau dapati beliau berdalil dengan ayat Al-Qur’an atau hadits nabi, sungguh Allah telah memberikan manfaat kepada Islam dan muslimin dengan sebab dakwah beliau…”.
Sampai beliau berkata,

“Maksudnya bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin. Betapa banyak kaum muslimin yang Allah selamatkan dari kesesatan, bid’ah dan khurafat dengan sebab kitab-kitab beliau rahimahullah”.
Beliau berkata pada hal 402,

“Siapa yang ingin mengetahui dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab maka aku nasehatkan untuk membaca Ad-Durar As-Saniyah sehingga seakan ia duduk mendampingi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kami nasihatkan sebelumnya untuk membaca kitab-kitab beliau dan setelah itu kami nasihatkan agar membaca Ad-Durar As-Saniyyah agar engkau ketahui risalah-risalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh beliau adalah seorang yang melakukan perbaikan, tetapi banyak difitnah.”

Beliau berkata pada hal 410,
“Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah imam yang memberi petunjuk”.
Juga pada hal 412 beliau ditanya tentang penyebutan kata Syaikhul Islam bagi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab apakah itu berlebihan atau memang berhak beliau menyandangnya? Maka beliau menjawab,
“Nampaknya beliau memang berhak menyandangnya. Sungguh Allah telah memberikan manfaat kebaikan yang banyak dengan sebab dakwahnya. Allah berkahi dakwahnya dan kaum muslimin mengambil manfaat darinya. Wallahul musta’an (Dan Allah-lah Tempat Meminta Pertolongan –ed.)”

5. Guru-guru beliau
a. Ayah beliau sendiri Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman
b. Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, yaitu ayah Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullah pengarang kitab Al-‘Adzbu Al-Faidh fi ‘Ilmil Faraidh.
c. Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim As-Sindi
d. Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i Al-Bashri
e. Asy-Syaikh Musnid Abdullah bin Salim Al-Bashri
f. Asy-Syaikh Abdul Lathif Al-Afaliqi Al-Ahsa’i

6. Murid-murid beliau
a. Al-Imam Abdul Aziz bin Su’ud
b. Al-Amir Su’ud bin Abdul Aziz bin Sulaiman
c. Putra-putra beliau sendiri, Asy-Syaikh Husain, Asy-Syaikh Ali, Asy-Syaikh Abdullah dan Asy-Syaikh Ibrahim.
d. Cucu beliau Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan, penulis kitab Fathul Majid
e. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir bin Ma’mar
f. Asy-Syaikh Abdullah Al-Hushain
g. Asy-Syaikh Husain bin Ghannam

7. Karya-karya beliau
Beliau mempunyai banyak karya tulis yang dengannya Allah berikan manfaat kepada alam islami, di antaranya:
a. Kitabut Tauhid
b. Ushulul Iman
c. Kasyfusy Syubhat
d. Tsalatsatul Ushul
e. Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid
f. Mukhtashar Fathul Bari
g. Mukhtashar Zadul Ma’ad
h. Masa’il Jahiliyyah
i. Fadhailush Shalah
j. Kitabul Istimbath
k. Risalah Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah, yaitu risalah ini.
l. Majmu’atul Hadits dan sebagian besarnya telah tercetak dalam kumpulan karya-karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1398 H di Riyadh di bawah pengawasan Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud.

8. Wafat beliau
Beliau rahimahullah wafat pada hari Jum’at di akhir bulan Dzulqa’dah tahun 1206 H pada umur 71 tahun setelah melakukan jihad yang panjang, berdakwah menyerukan kebaikan, mengadakan perbaikan, menyebarkan ilmu dan pengajaran. Kemudian beliau dimakamkan di pekuburan Dir’iyyah, semoga rahmat Allah terlimpah atasnya. Banyak dari para penyair yang melantunkan bait-bait kesedihannya, di antara mereka adalah:

- Asy-Syaukani dalam qasidahnya yang panjang, di antara ucapannya,
“Musibah menimpa kalbuku, berkobar kegundahanku
Dia mengenai titik mematikanku dengan anak panah yang sangat menyakitkan
Dunia tertimpa musibah dengan kepergiannya, menjadi berdebu wajahnya
Dan meninggi bendera-bendera suatu kaum yang dulunya rendah
Sungguh telah wafat gunungnya ilmu, poros penggiling tertinggi
Dan pusat peredaran orang-orang terkemuka lagi mulia
Imamnya petunjuk, penghapus kebodohan, pembungkam kezhaliman
Dan penghilang dahaga dari luapan ilmu…
Muhammad pemilik kemuliaan yang begitu mulia apa yang telah dicapainya
Dan agung kedudukannya untuk bisa disusul oleh orang yang menghambatnya
Sungguh Najd menjadi bercahaya dengan pancaran sinarnya
Dan tegaklah tempat-tempat petunjuk dengan dalil-dalilnya
Tertimpa musibah dengan kepergiannya, terlepas nafas terakhir ruhku
Dan untuk memikul beban ini, terasa lelah punggung bawah dan punggung atasku
Sadarlah wahai orang yang mencela Asy-Syaikh apa yang engkau cela darinya
Sungguh engkau telah mencela suatu kebenaran
Lantas engkau pergi membawa kebatilan
Sadarlah kalian, sadarlah dia bukannya seorang penyeru
Kepada agama nenek moyang dan kabilahnya
Dia hanya menyeru kepada Kitabullah dan sunnah yang
Datang membawanya Thaha , Nabi, sebaik-baik orang yang berbicara

(Silahkan melihat Diwan Asy-Syaukani hal. 160 cet. Darul Fikr)

- Asy-Syaikh Husain bin Ghannam juga melantunkan bait kesedihannya dalam qasidah panjang yang mana awalnya:
Hanya kepada Allah kami memohon untuk menyingkap segala kesusahan
Dan tiada tempat memohon selain kepada Allah Al-Muhaimin
Telah tenggelam mataharinya pengetahuan dan petunjuk
Sehingga mengalirlah darah di pipi dan bercucuranlah air mataku
Seorang imam yang manusia tertimpa musibah dengan kehilangannya
Dan terus mengelilingi mereka berbagai musibah menyakitkan dengan perpisahannya
Menjadi kelam segala penjuru negeri sebab kematiannya
Dan menimpa mereka kesulitan mengerikan yang menyedihkan
Sebuah bintang yang jatuh dari ufuk dan langitnya
Sebuah bintang yang terkubur di tanah berlembah sunyi
Bintang keberuntungan yang bersinar cahayanya
Dan bulan purnama yang mempunyai tempat terbit di tempat sebelah kanan
Dan waktu subuh yang sinarnya menerangi manusia
Sehingga kelamnya kegelapan setelah itu menjadi lenyap

 
Nasabnya
Beliau adalah Bakr bin ‘Abdullah, Abu Zaid bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Bakr bin ‘Utsman bin Yahya bin Ghaihab bin Muhammad. Silsilah ini berhenti hingga Bani Zaid teratas, yaitu Zaid bin Suwaid bin Zaid bin Suwaid bin Zaid bin Haram bin Suwaid bin Zaid, al-Qudlaa’i, dari kabilah Bani Zaid al-Qudlaa’iyyah yang tersohor di kawasan al-Wasym dan dataran tinggi Nejd. Di sanalah Syaikh Bakr Abu Zaid dilahirkan, yaitu pada tahun 1365 H.

Kehidupan Ilmiahnya
Di tempat kelahirannya, ia belajar di sekolah biasa hingga kelas dua ibtidaiyah, kemudian pindah ke Riyadh tahun 1375 H di mana ia melanjutkan ibtidaiyahnya di sana, kemudian meneruskan ke Ma’had ‘Ilmi, kemudian fakultas syari’ah hingga wisuda pada tahun 1387/1388 H.

Pada tahun 1384 H, ia pindah ke Madinah Munawwarah dan bekerja sebagai kepala Perpustakaan umum, Universitas Islam (al-Jaami’ah al-Islaamiyyah).

Di samping sekolah reguler, ia rajin mengikuti beberapa halaqah (pengajian sorogan) para syaikh di Riyadl, Mekkah dan Madinah.

Di Riyadl, ia belajar ilmu tentang Miiqaat (manasik haji) kepada syaikh al-Qadli, Shalih bin Muthlaq dan kitab lainnya. Ia juga belajar fiqih kepada syaikh al-Hijawy dengan menggunakan kitab Zaad al-Mustaqni’, tetapi hanya pada bab tentang Buyuu’ (jual beli).

Di Mekkah, ia belajar kepada samahatusy syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz (mantan Mufti Kerajaan Arab Saudi) , yaitu kitab al-Hijjah dari kitab al-Muntaqa karya al-Majd bin Ibn Taimiyyah, tepatnya pada musim haji tahun 1385 H di Masjid Haram.

Di Masjid Haram juga, ia mendapatkan Ijaazah dari beberapa syaikh, di antaranya Syaikh Sulaiman bin ‘Abdurrahman bin Hamdan yang mengizinkannya secara tertulis melalui tulisan tangannya untuk meriwayatkan seluruh kitab hadits dan juga Ijaazah mengenai Mudd Nabawi.

Sedangkan di Madinah Munawwarah, ia juga belajar kepada samahatusy syaikh Ibn Baz, yaitu kitab Fath al-Baary dan Buluugh al-Maraam serta beberapa risalah dalam masalah fiqih, tauhid, hadits di kediaman Syaikh Ibn Baz. Ia ‘nyantri’ dengan syaikh Ibn Baz selama sekitar dua tahunan, lalu Syaikh Ibn Baz pun memberikan Ijaazah kepadanya.

Ia juga ‘nyantri’ dengan syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi selama 10 tahun sejak pindah ke Madinah Munawwarah hingga wafatnya syaikh (guru) nya itu pada musim haji tahun 1393 H.

Ia membaca pada gurunya itu kitab tafsir “Adlwaa` al-Bayaan (karya monumental Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syanqithi) dan risalahnya “Aadaab al-Bahts Wa al-Munaazharah”. Ia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar ilmu tentang nasab di mana ini hanya dilakukannya sendiri, tidak murid-murid yang lain. Ia juga membacakan kepadanya kitab al-Qashd wa al-Umam karya Ibnn ‘Abd al-Barr, juga membacakan beberapa risalah. Tidak lupa ia menggunakan kesempatan untuk berdiskusi dan menimba hal-hal yang bermanfa’at.

Ia memiliki sekitar 20-an Ijaazah dari para ulama al-Haramain, Maroko, Syam, India, Afrika dan lain-lain.
Pada tahun 1399/1400 H, ia belajar tentang peradilan di Ma’had ‘Aly, selanjutnya, ia berhasil menggondol gelar Magister. Dan pada tahun 1403, ia pun meraih gelar doktor.

Aktifitas Dan Jabatan Yang Pernah Dipegang
Pada tahun 87/88 H, setamatnya dari fakultas Syari’at, ia diangkat sebagai Qadli (Hakim) di Madinah Munawwarah berdasarkan SK raja dan berlanjut hingga tahun 1400 H.

Pada tahun 1390 H, ia diangkat menjadi pengajar di Masjid Nabawi dan berlanjut hingga tahun 1400 H.
Pada tahun 1391 H, keluar pula SK raja berkenaan dengan pengangkatannya sebagai imam dan khatib untuk Masjid Nabawi dan berlanjut hingga awal tahun 1396 H.

Pada tahun 1400 H, ia ditunjuk sebagai wakil umum kementerian kehakiman dan ini berdasarkan surat penunjukkan oleh dewan menteri. Jabatan ini berlanjut hingga akhir tahun 1412 H. ketika itu, keluar SK pengangkatannya sebagai anggota lajnah fatwa dan Hai`ah Kibaar al-‘Ulama’ (Forum Ulama Besar).
Pada tahun 1405 H, kembali keluar SK raja untuk penunjukannya sebagai perwakilan kerajaan Arab Saudi pada Lembaga Kajian Fiqih Islam Internasional ( Mujamma’ al-Fiqh al-Islamy ad-Duwaly) yang menginduk pada OKI di mana kemudian ia dinobatkan sebagai ketuanya.

Pada tahun 1406 H, ia ditunjuk sebagai anggota Mujamma’ dan di sinilah ia benyak ikut terlibat dalam berbagai kepanitiaan dan seminar-seminar baik di dalam mau pun di luar kerajaan Arab Saudi. Di samping itu, ia juga mengajar materi peradilan di Ma’had ‘Ali dan menjadi dosen pada pascasarjana fakultas Syari’ah, di Riyadl.

Karya-Karyanya
Karya beliau banyak sekai mencapai 66 buah buku dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya:
1. Fiqh al-Qadlaaya al-Mu’aashirah (Fiqh an-Nawaazil), terdiri dari 3 jilid dan mencakup 15 permasalahan fiqih kontemporer dalam bentuk risalah, di antaranya:
a. Risalah at-Taqniin Wa al-Ilzaam
b. Risalah al-Muwaadla’ah Fii al-Ishthilaah
c. Risalah Thifl al-Anaabiib
d. Risalah at-Ta’miin
e. Risalah at-Tamtsil
2. at-Taqriib Li ‘Uluum Ibn al-Qayyim
3. Ikhtiyaaraat Ibn Taimiyyah karya al-Burhan Ibn al-Qayyim (tahqiq)
4. Mu’jam al-Manaahi al-Lafzhiyyah
5. Laa Jadiid Fii Ahkaam ash-Shalaah
6. at-Ta’aalum
7. Hilyah Thaalib al-‘Ilm
8. Adab al-Haatif
9. at-Ta’shiil Li Ushuul at-Takhriij Wa Qawaa’id al-Jarh Wa at-Ta’diil (3 jilid)
10. Mashu al-Wajh Bi al-Yadain Ba’da Raf’ihima Bi ad-Du’aa`
11. Ziyaarah an-Nisaa` Li al-Qubuur
12. Dla’f Hadiits al-‘Ajn
13. an-Nazhaa`ir
14. ar-Radd ‘Ala al-Mukhaalif
15. at-Tahdziir Mn Mukhtasharaat ash-Shaabuuny Fi at-Tafsiir
16. Du’aa` al-QunUUt
17. Nazhariyyah al-Khalth Bayna al-Islaam Wa Ghairihi Min al-Adyaan (sudah diterjemahkan dengan judul Propaganda Sesat Penyatuan Agama, penerbit Darul Haq)
18. Madiinah an-Nabiyy; Ra`yul ‘Ain

Dan banyak lagi buku-buku yang lain, semoga Alloh menganugerahkan pahala kepada Syaikh Bakr, menambah keutamaannya, menjadikan ilmunya bermanfa’t bagi umat Islam, menjaganya dan memberkahinya. Amiin.