Julukan atau sebutan Kiyai atau Kiai atau Kiyahi ( كياهي) ) sering menjadi pertanyaan orang. Apa sebenarnya makna Kiyai itu. Dari mana asal muasal nama Kiyai itu. Dan apa sebenarnya ciri-ciri serta hal-hal yang harus dilakukan oleh para Kiyai. Pertanyaan itu lebih mencuat lagi ketika orang-orang yang disebut Kiyai atau para Kiyai ada yang dinilai berbuat yang di luar jalur kebiasaan, misalnya ada yang patut diduga sebagai provokator, ada yang jadi pengipas-ngipas suasana dengan memanasi anak buah untuk melawan terhadap lawan-lawan politik, ada yang memanas-manasi untuk mendukung Presiden Gus Dur / Abdurrahman Wahid karena presidennya dari golongan sang Kiyai itu, yaitu Nahdlatul Ulama dengan partainya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Tidak jarang pula ada Kiyai yang suka kumpul-kumpul sesamanya, hingga disebut Kiyai khos (khusus) yang kaitannya erat dengan soal dukung mendukung terhadap kursi presiden yang sedang diduduki oleh golongannya.
Tetapi di balik itu ada Kiyai dogdeng (kebal) yang suka sesumbar bahwa wadyabalanya rata-rata jadug (sakti, tidak mempan senjata tajam). Ada juga Kiyai yang dari zaman Orde Baru pimpinan Presiden Soehartosukanya mendekat-dekat dengan penguasa, bahkan pernah bersama-sama puluhan Kiyai dipimpin Nur Iskandar SQ menghadiahi emas beberapa kilogram kepada Presiden Soeharto dengan dalih untuk mengatasi krisis ekonomi/ moneter. Setelah para Kiyai itu sowan (hadir dengan penuh ketundukan) ke tempat Presiden Soeharto, justru tak lama kemudian sang Presiden dipaksa turun dengan didemonstrasi oleh puluhan ribu mahasiswa selama dua minggu, hingga ia menyatakan turun dari kursi kepresidenan 1998.
Ada juga Kiyai yang mempelopori untuk disahkannya asas tunggal pancasila hingga kumpulan para Kiyai itu berbangga diri bahwa pihak mereka dengan Jam’iyah NU-nya adalah orang-orang yang nomor satu dalam hal menggulkan (mensukseskan untuk dipaksakannya) asas tunggal pancasila terhadap Ummat Islam. Padahal, Ummat Islam pada umumnya sangat kesulitan menghadapi tekanan Soeharto yang semakin terasa berpihak kepada palangis atau kaum Salib yang makin menjadi tirani minoritas dengan pengaruh Jendral Leonardo Benny Murdani saat itu dan menekan Islam selama hampir 30-an tahun. Sedang asas tunggal pancasila itu dinilai oleh kalangan Islam non NU dan Golkar sebagai salah satu jenis tekanan Soeharto terhadap Islam. Kiyai-Kiyai NU yang menggulkan asas tunggal pancasila itu di antaranya dipimpin Kiyai Haji Ahmad Siddiq (mendiang yang dulunya suka musik rock barat, satu kebiasaan yang jauh dari adab orang alim Islam, yang kitab-kitabnya menyebut sankres alias musik itu haram). Kemudian “jasanya” itu dibawa mati. Dan mereka yang masih hidup, mereka tidak merasa malu apalagi minta maaf kepada umat ketika Umat Islam bersyukur dan merasa lega saat asas tunggal pancasila itu ditendang oleh MPR dalam sidangnya 1998, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dan pemerintahan diserahkan kepada wakilnya, Prof Ir Baharuddin Jusuf Habibie. Sikap para Kiyai itu kalau diperbandingkan, masih agak mending Amien Rais (Ketua MPR) yang walaupun tanpa menyandang gelar Kiyai namun secara jantan dia meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas “ijtihad politiknya” (menurut istilah dia) yang salah ketika dulunya memprakarsai untuk memilih Gus Dur/ Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden yang ternyata setelah dijalani, kepemimpinan Gus Dur menurut Amien Rais menyebabkan Amien minta maaf kepada bangsa atas salah pilihnya itu. Hingga Amien Rais pun tampak bertanggung jawab terhadap bangsa Indonesia untuk berupaya bagaimana agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Sekalipun sikap Amien Rais itu jelas sikap politik, namun di situ tampak terus terang mengaku bahkan minta maaf atas kesalahannya, dan pula mau berusaha untuk menambal kesalahannya.
(Dalam hal ini para pembaca tidak usah buru-buru menyangka bahwa penulis pro Amien Rais, hingga membela-bela dia. Tidak. Karena, buku yang mengkritik Amien Rais berjudul Kekeliruan Logika Amien Rais pun telah penulis ujudkan dan cetak serta edarkan sebelum kami tulis buku Bahaya Pemikiran Gus Dur. Jadi tidak ada itu membela-bela Amien Rais segala. Kepentingan menampilkan sikap Amien Rais itu hanya untuk perbandingan antara sikap para Kiyai NU pendukung asas tunggal pancasila yang sampai dikenal sebagai nomor wahid, yang kemudian tidak mau mengakui kesalahan apalagi minta maaf, dan sikap Amien Rais yang terang-terangan secara jantan mengakui kesalahan dan minta maaf kepada bangsa Indonesia dalam kasus keterlanjurannya menjagokan Gus Dur sebagai presiden. Padahal resikonya jauh lebih berat bagi Amien Rais, sampai-sampai dihalalkan darahnya oleh Nur Iskandar SQ dan sering diboikot di Jawa Timur. Sementara itu, seandainya para Kiyai NU meminta maaf atas kengototannya menjadi pendukung pertama dipaksakannya asas tunggal pancasila, sebenarnya tidak ada resiko apa-apa, toh orang yang dijilati yaitu Presiden Soeharto sudah tidak berkuasa lagi. Itu saja persoalannya. Tapi Pak Amien Rais tidak usah bangga dengan perbandingan ini).
Pengertian Kiyai
Dalam buku Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MS menjelaskan sebagai berikut:
Di tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di daerah Jawa Barat (Sunda) orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat disebut Buya, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atauBendara yang disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa Tenggara orang memanggilnya dengan Tuan Guru. Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama anatara lain Wali. Gelar ini biasanya diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa.[1] Sering pula para wali ini dipanggil denganSunan[2] (Susuhunan), seperti halnya para raja. Gelar lainnya ialah Panembahan, yang diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual, juga menyangkut segi kesenioran, baik usia maupun nasab (keturunan). Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi.[3]
Selain itu, terdapat sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan Ki Ageng atau Ki Ageng/ Ki Gede, juga Kiai Haji.[4]
Gelar Kiai sebenarnya cukup terhormat. Namun di zaman kini, di saat buku ini ditulis, Maret 2001M/ Dzulhijjah 1421H, banyak para Kiai yang terjun ke dunia politik praktis, serta tersebar di masyarakat berbagai ucapan bahkan lakon Kiyai yang sebenarnya kurang sesuai dengan gelar kehormatan itu. Maka akibatnya timbul pertanyaan, apa sebenarnya Kiyai itu, dan apa pula kriterianya.
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, di samping sudah kita ketahui uraian di atas, perlu pula kita simak jawaban yang muncul dari kalangan ulama sendiri tentang julukan Kiai itu. Di antaranya apa yang dikemukakan oleh Prof Dr Hamka dalam menjawab pertanyaan orang tentang Kiyai Dukun. Di dalam hal ini Hamka menulis:
“…kami menyerukan kepada penanya dan saudara-saudara yang berminat supaya dicarilah Kiyai-kiyai yang benar-benar mengerti soalnya (soal agama Islam dengan aneka rangkaian ajarannya, di antaranya tentang ayat-ayat yang boleh dijadikan do’a-doa untuk menolak penyakit, pen) lalu pelajari sehingga bisa jadi tabib untuk diri sendiri. Karena kalimat Kiyai itu bukanlah artinya semata-mata untuk orang yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya.
Ada Kiyai berarti Guru Agama Islam yang telah luas pandangannya.
Ada Kiyai berarti pendidik, walaupun pendidik Nasional. (Kalau yang dimaksud Hamka itu misanya Hajar Dewantara, maka biasanya disebut Ki, bukan Kiyai; tetapi sebutan Ki itu kadang juga sama dengan Kiyai, seperti Ki Dalang itu sama dengan Kiyai Dalang, pen).
Ada Kiyai berarti Pak Dukun.
Di Kalimantan, Kiyai (sebelum perang) berarti District-hoofd (Wedana).
Di Padang (sebelum perang), Kiyai artinya “Cino Tuo” (Orang Tionghoa yang telah berumur).
Gamelan Sekaten di Yogya bernama Kiyai Sekati dan Nyi Sekati.
Dalang yang ahli disebut Ki Dalang, atau Kiyai Dalang.
Bendera Keramat yang dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam dalam negeri Yogyakarta bernama Kiyai Tunggul Wulung.[5]
Meskipun Hamka mampu menjelaskan kegunaan kata Kiyai seperti tersebut, namun dia terus terang mengungkapkan, “kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.
Di seluruh pulau Jawa yang terdiri dari tiga suku besar, yaitu Jawa, Sunda, dan Madura ditambah dengan Palembang, kata Kiyai digunakan untuk menghormati seseorang yang dianggap Alim, Ahli Agama dan disegani.
Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.
Bertahun-tahun lamanya Almarhum Bapak Kiyai Haji Hasan Corong jadi ketua Wilayah (Consul) Muhammadiyah daerah Kalimantan Selatan; umumnya orang di Jawa menyangka bahwa beliau adalah seorang Ulama besar, sebab di pangkal namanya ada titel “Kiyai”, padahal beliau adalah pensiunan Kiyai (District-hoofd), yaitu pangkat Bumiputera yang tertinggi di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) pada masa sebelum perang.
Tetapi di Sumatera Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, gelar Kiyai diberikan kepada Cina yang telah tua dan dihormati. Biasanya janggut beliau dipanjangi. Di tahun 1916 kami masih mendapati seorang Cina tua di kampung Cina Padang Panjang disebut orang Kiyai Makh Thong.
Rupanya kata-kata ini terdapat juga di Thailand (Siam), Ulama yang besar-besar dihormati di sana dalam kalangan orang Islam dalam menyebutnya (Guru Kriyai).[6]
Setelah kita mengetahui penjelasan Hamka itu, perlu disebutkan pula di sini bahwa masih ada pula sebutan Kiyai untuk hal-hal lain, di antaranya adalah keris atau tombak di Kraton Solo, bahkan Kiyai itu untuk menjuluki kerbau. Di Kraton Solo Jawa Tengah ada kerbau yang disebut Kiyai Slamet, yaitu kerbau yang dianggap keramat oleh orang-orang (yang tentu saja batil menurut Islam). Kebo (kerbau) yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram, yang disebut tanggal satu Syuro. (Bulan Muharram di Jawa disebut Syuro, mungkin karena di dalam bulan Muharram itu ada hari yang penting pada hari kesepuluh, namanya ‘Asyuro, hari kesepuluh Muharram, yang dalam Islam termasuk hari disunnahkannya puasa). Hingga kerbau yang dinamai Kiyai Slamet itu ke mana saja tidak diusik, bahkan sampai memakan dagangan sayuran dan sebagainya pun tidak diapa-apakan, karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), kerbau itu ketika makan dagangan tersebut dianggap justru akanngrejekeni (memberi rizki atau memberkahi). Jadi Kiyai yang berupa kerbau itu telah dianggap sebagai makhluk keramat, yang tentu saja hal itu merupakan satu jenis penyimpangan yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan.
Sementara itu upacara di Solo pula pada malam satu Syuro itu adalah “thawaf” mengelilingi benteng Mangkunegaran, Jalan raya melingkar di sekeliling benteng Mangkunegaran (kira-kira kelilingnya sepanjang 1,5 KM) itu berubah jadi tempat orang berjalan kaki mengitari benteng dengan mulut membisu. Jadi bagai thawaf di Ka’bah, tetapi membisu. Hanya saja kalau thawaf itu waktunya kapan saja, dan yang dikelilingi adalah Ka’bah Baitulllah di Makkah, 7 kali keliling, dalam keadaan suci dari hadats sebagaimana sucinya orang yang mau shalat. Sedang “thawaf” di Mangkunegaran ini mengelilingi benteng, dan bentengnya itu di sebelah kanan (kalau Thawaf, Ka’bahnya di sebelah kiri, berputarnya berlawanan dengan jarum jam) dan berputarnya searah dengan jarum jam, waktunya hanya malam satu Syuro., dan harus “puasa” bisu, tidak berkata-kata. Kesempatan berdesakan di tengah malam itu konon digunakan pula oleh muda-mudi untuk main senggol. Antara upacara mengelilingi benteng dan dilepasnya Kerbau Kiyai Slamet ini waktunya sama, yaitu malam satu Syuro.
Jadi ada kerbau yang dikeramatkan dengan dijuluki Kiyai Slamet, dan ada acara bid’ah menthawafi (mengelilingi) benteng dengan mulut membisu pada malam satu Syuro. Demikianlah menurut pengamatan penulis.
Lantas, siapa yang menjuluki Kiyai itu?
Hamka pun tidak menentukan, siapa yang berhak menjuluki Kiyai terhadap aneka macam tersebut di atas. Hamka menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu, siapa yang berwenang menjuluki Kiyai, sebagai berikut:
“Nampaknya tidak ada suatu ketentuan tentang siapa yang berwenang memberikan gelar Kiyai. Nampaknya apabila telah bisa disebut Kiyai, lekat sajalah gelar itu. Lantikannya yang tertentu tidak ada. Oleh sebab memberi gelar Kiyai itu tidak ada peraturannya yang tertentu dan hanya menurut kesukuan orang saja dan diterima masyarakat, maka dipanggil orang Kiyai juga menurut kebiasaan orang Jawa.”[7]
Jawaban Hamka itu dikemukakan pada tahun 1963. Pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, ulama Jakarta atau Betawi biasanya disebut dengan Guru, misalnya Guru Mughni di Kuningan Jakarta, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin (Zainuddin) di Kalibata Pulo, Guru Amin di Kalibata dan sebagainya. Baru belakangan terbiasa menyebut ulama dengan nama Kiyai yang kadang-kadang disingkat jadi Kaha (KH, Kiyai Haji) di antaranya Kiyai Abdullah Syafi’i, menurut orang kampung Bali (Matraman) sebutannya Kiyai Duloh., yang kemudian terkenal lewat radionya-As-Syafi’iyah, demikian pula Kiyai Thahir Rahili dengan radionya At-Thahiriyah di Kampung Melayu, kedua-duanya memiliki pesantren dan perguruan Islam. Selanjutnya ulama Betawi juga disebut Kiyai, di antaranya Kiyai Syafi’i Hazami, yang memang ulama terkemuka di kalangan masyarakat Betawi. Hanya saja sebutan Kiyai belum tentu lekat pula pada ulama Betawi. Contohnya, seorang ulama alumni Timur Tengah, yang kitab-kitabnya di antaranya tentang Madzhab Imam Syafi’i menjadi rujukan di Universitas Al-Azhar Mesir, yaitu Dr HA Nahrawi Abdus Salam (rumahnya dekat Masjid Al-Munawar Jl Raya Pasr Mingu Pancoran Jakarta Selatan) jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil Doktor saja. Sebagaimana penulis kawakan dan budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak mengembel-embeli titel Kiyai dalam mengisahkan DR HA Nahrawi Absus Salam pada buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, 1994. Justru gelar Syaikh lah yang dikenakan pada ulama Betawi, walaupun memang adanya di Makkah, sebagaimana dipaparkan oleh Ridwan Saidi:
“Jika seluruh bangsa Indonesia yang tinggal merantau di Jakarta di zaman penjajahan itu berkejar mencari kemegahan di sisi bangsa Belanda yang menjajah, mengembara ke negari Belanda, namun si anak Betawi berduyun-duyun pergi ke Mekah. Bukan berduyun ke negeri Belanda. Sampai di Mekah mereka bukan semata-mata jadi babu atau khadam yang duduk di tingkat bawah, melainkan –sekurang-kurangnya—menjadi orang menengah (middenstand) yang berpengaruh. Saya teringat ketika perjanjian penyerahan Raja Ali anak Raja Husin, raja negeri Mekah yang diserang oleh Raja Ibnu Saud tahun 1925, ketika kota Jeddah sudah dikepung lama sekali, akhirnya Raja Ali mengaku kalah dan diadakan delegasi pendamai kedua belah pihak. Setengah dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Raja Ali ialah supaya beberapa orang besar dan ternama yang jadi hidup bertalian erat dengan Baginda (Raja Ali, pen) dibebasakan. Di antaranya ialah beberapa nama yang di ujung nama itu disebut “:Betawi”: Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, Syaikh Sa’id Betawi. Keturunan keluarga Betawi itu masih ada sampai sekarang (1994, pen) dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabi, baik di Mekah maupun Jeddah.[8] Dari sini bisa difahami bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai untuk sebutan ulama pun yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan tampaknya budaya munduk-munduk (sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.
Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Adapun ulama ataupun da’i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi saw maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab “keturunan” Nabi saw. Sedang habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau bahkan ulama dan “keturunan” Nabi saw. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau “keturunan” Nabi saw maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
(Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habi itu sudah mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum, wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai Haji Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi’ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi’iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara persaaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan mengaku kepada penulis bahwa dirinya diplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu).
Tampaknya tradisi munduk-munduk (sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan” Nabi saw dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”.
Kini, setelah muncul Kiyai-kiyai yang dipandang oleh masyarakat sebagai provokator dan sebagainya, bahkan ada yang kena skandal, apakah julukan Kiyai yang tadinya tidak melekat di kalangan Ulama Betawi/ Jakarta itu harus mereka kembalikan ke asalnya yaitu Guru atau bahkan Ulama atau Alim saja? Istilah “Ulama Betawi” sebenarnya sudah melekat dalam bahasa masyarakat. Sedang istilah Kiyai sebenarnya selalu jadi tanda tanya. Karena, di samping munculnya itu dari Jawa (biasanya di Jakarta, yang disebut Jawa itu tidak termasuk Jakarta), juga istilah Kiyai itu mengandung aneka macam makna, dari kerbau yang dianggap keramat sampai bendera yang dikeramatkan, atau bahkan dukun santet ataupun tukang sihir. Walaupun memang masih diakui pula istilah Kiyai itu ada yang untuk ulama betulan.
Sebutan Kiyai mungkin lebih diminati dan ni’mati
Kalau ditilik dari segi praktis dan pragmatisnya, bahwa Kiyai itu yang di-munduk-munduki atau sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti, maka tampaknya justru sebutan Kiyai itulah yang lebih mereka minati. Di samping masyarakat sudah bisa diharapkan akan tunduk lagi hormat kepada Sang Kiyai, toh pada masa akhir-akhir ini sosok-sosok Kiyai itu seolah telah bebas berbuat, termasuk dalam berbuat cabul dan berbohong sana sini atau berakhlaq tidak nggenah. (Kadang keburukan-keburukannya itu bahkan ada pihak-pihak yang membelanya dengan dalih maqomnya/ tingkatnya sudah mencapai derajat wali, yang menurut faham sesat mereka adalah terbebas dari segala hukum dan hukuman). Sehingga Kiyai model itu walaupun sudah sedemikian buruknya menurut agama, namun penghormatan tetap didapat, sedang penjagaan diri sebagai orang yang wara’ (sangat hati-hati terhadap yang makruh, apalagi yang haram) sudah tercabut dari “keharusan”. Kan malah lebih gampang. Kenapa repot-repot harus mengembalikan Istilah Kiyai kepada istilah yang berat-berat yaitu “Guru” apalagi Ulama/ Alim ataupun Syaikh. Kan itu bikin capek (payah) saja.
Begitulah kira-kira, kalau kita mau ber-suud dhon (buruk sangka) kepada mereka. Walaupun tentu saja hal itu hanya berlaku bagi Kiyai-kiyai gadungan, yang istilah terkenalnya dalam terminologi Islam adalah ulama suu’ (yaitu ulama yang jahat), yang banyak dikecam oleh ulama salaf (terdahulu). Ulama Suu’ itu di antaranya adalah ulama-ulama yang suka masuk keluar ke istana atau pintu penguasa, bahkan ulama seperti itu mereka sebut sebagai maling (lisshun – لص ). Tetapi rupanya kini jumlahnya makin banyak, padahal kitab-kitab yang mengecam tingkah polah itu masih berada pada tangan-tangan mereka pula, sekalipun tidak lagi diajarkan kepada para santrinya, karena ulama tersebut cukup mengajari berdemo bersama antek-antek komunis untuk merusak dan menghancurkan masjid, madrasah, panti asuhan milik Muslimin yang dulunya ketika memberantas Bid’ah, Khurofat, dan syirik yang jadi “kareman” (kegemaran) si perusak ini, dulu tidak punya alasan untuk menolak pemberantasan bid’ah itu dengan cara menghancurkan masjid-masjid pemberantas bid’ah. Nah sekarang mumpung kelompok perusak ini sedang ada setitik alasan yang dibuat-buat, yakni membela Kiyainya yang jadi presiden namun ingin didongkel oleh orang-orang yang di antaranya adalah kelompok anti Bid’ah, maka masjid ataupun sarana da’wah Islam yang dimiliki kelompok anti Bid’ah pun kesempatan untuk dihancurkan oleh mereka yang “karem” (gemar) bid’ah itu bersama kelompok anti Islam bahkan anti Tuhan. Lalu mereka ramai-ramai cuci tangan dengan ucapan-ucapan yang mereka bikin-bikin. Padahal sebelumnya, santer terdengar, kalau Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden maka mereka mau mengerahkan massa. Namun setelah Gus Dur benar-benar digoyang oleh DPR, lalu massa benar-benar terkerahkan dan sampai mengadakan perusakan di mana-mana, lalu secepatnya mereka cuci tangan dengan ucapan. Misalnya ucapan, Kami bersedia membantu satu miliar Rupiah kepada gedung-gedung atau sarana milik Muhammadiyah apabila benar-benar terbukti bahwa yang merusaknya itu dari kalangan NU kami. Keruan saja pihak Muhammadiyah menolak sumbangan yang bersyarat itu. Karena, menurut Muhammadiyah, kalau memang mau menyumbang ya tidak usah bersyarat seperti itu. Karena yang namanya pembuktian itu harus lewat pengadilan.
Tidak puas hanya merusak masjid dan sebagainya, mereka juga beramai-ramai menebangi ratusan pohon pinggir jalan untuk ditaruh di jalan-jalan guna menghalangi orang lewat, agar para santri-santri dan masyarakat yang dikerahkan untuk menghalangi jalan itu imannya habis punah, Tidak cukup hanya dicekoki bid’ah, khurofat, dan takhayul, tapi imannya perlu dikikis benar-benar. Soalnya dalam Islam, justru bagian dari iman itu di antaranya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, namun kini di antara ulama suu’ atau orang-orang yang belajarnya kepada ulama suu’, mereka ramai-ramai menebangi ratusan pohon di Jawa Timur untuk ditlalangkan guna menghalangi jalan-jalan raya. Peristiwa yang merusak dan merugikan bagi umum itu terjadi di Jawa Timur dalam rangka ‘ashobiyah(fanatik buta), yaitu membela Presiden Gus Dur, agar tidak diturunkan dari jabatannya, Februari 2001M. Dalam Islam, membuang gangguan yang ada di jalan adalah termasuk bagian dari iman. Lantas perlu ditanyakan kepada para Kiyai pendukung Gus Dur terutama di Jawa Timur, bukankah membuat halangan besar-besaran di jalan raya serta merusak pohon dengan menebanginya; itu berarti membuang iman? Bukankah demikian?
Antara ajaran Islam dan kepentingan orang-orang yang mengerti Islam yaitu ulama atau Kiyai yang berkendaraan hawa nafsu, memang kadang ada jaraknya yang sangat jauh, bahkan kadang sangat berbalikan. Selama kepentingan-kepentingan nafsu bahkanashobiyah/ fanatik golongan itu masih lebih diunggulkan dibanding ajaran Islam itu sendiri, maka apa saja bisa dikorbankan demi kepentingan, demi golongan, demi perintah syetan, bukan demi Islam. Termasuk di dalamnya, kalau hanya masalah nama, yaitu ulama atau guru agama atau da’i, yang ketiga-tiganya tidak mendatangkan “manfaat” dari segi kepentingan untuk “dimunduk-munduki“, maka tentu saja mereka lebih pilih julukan Kiyai, yang walaupun sebutan itu juga dipakai untuk kerbau namun mengandung unsur adanya “kebiasaan munduk-munduk” dari santri dan masyarakat terhadap Kiyai. Maka bisa diperkirakan, mereka tidak rela apabila julukan Kiyai itu diganti dengan Guru atau bahkan Ulama atau Syaikh sekalipun. Walaupun mereka sering menonjol-nonjolkan Hadits Al-‘Ulamaau warotsatul Anbiyaa’. Ulama itu pewaris para Nabi.
Kenapa lebih pilih julukan Kiyai?
Karena, di samping hal tersebut di atas yaitu dimunduk-munduki (sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti), masih ada alasan lain pula. Dalam kitab-kitab cukup banyak kecaman terhadap ulama’ suu’ (ulama jahat). Namun tidak tercantum dalam kitab-kitab adanya keterangan mengenai kecaman terhadap Kiyai suu’ (jahat). Bahkan kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet dipersilakan secara bebas dan merdeka untuk berkeliaran ke mana saja dan makan apa saja serta menginjak-injak apa saja boleh, dan tidak dijuluki Kiyai suu’ (jahat). Malahan yang diinjak-injak ataupun hartanya dimakan itu justru senang, karena mereka percaya (dalam kondisi kepercayaan batil) akan mendapatkan berkah dan rejeki. Itulah kurang lebihnya.
Julukan Kiyai untuk ulama perlu dihapus
Kalau hal ini dibiarkan, maka kondisi semakin runyam. Maka perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kiyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas. Tetapi, maukah mereka? Dan maukah masyarakatnya? Justru hal-hal yang tidak jelas itulah yang mereka cari, kadang-kadang. Itulah persoalannya pula.
Dari kenyataan itu, maka sangat baguslah orang-orang yang konsisten, dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kiyai. Sebagaimana Hamka, Ptof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam namun tidak disebut Kiyai, serta tidak menyebut dirinya Kiyai. Walaupun secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
Seandainya para ulama yang kini digelari Kiyai itu ikhlas mencopot gelar Kiyainya dan tak mau lagi disebut Kiyai, maka biar sekalian ketahuan bahwa Kiyai yang masih rela disebut Kiyai adalah Kiyai Dukun saja. Itu mungkin lebih baik, karena memang di dalam Islam tidak ada istilah Kiyai itu, demikian pula adat-adat yang lekat dengan kekiyaian kalau dicocokkan dengan Islam tampaknya memang sering berjauhan. Contoh paling kecil saja, setiap kongres para Kiyai NU, (namanya bukan kongres Kiyai, tapi biasanya kongres Ulama), hampir bisa dipastikan mesti dikintil (disertai) oleh sponsor dari pabrik rokok. Asbak tempat puntung rokok lengkap dengan cap pabrik rokok mesti berjajar berderet-deret di hadapan para Kiyai. Apakah merokok itu menjadi salah satu perbuatan yang diafdholkan (diutamakan) dalam Islam? Paling kurang, mesti hukumnya makruh, perlu ditinggalkan. Tetapi kenapa justru para Kiyai menjadi contoh buruk dalam masalah ini? Sehingga kalau orang yang suka bercanda akan bisa bilang, yang terpilih dalam jam’iyah itu tentunya yang paling jago dalam merokok. Lho kenapa? Karena setiap kongres apalagi muktamar, mesti dikintil / diikuti oleh sponsor yaitu pabrik rokok.
Antara “harus” membuang julukan Kiyai dengan memperbaiki mental dan polah tingkah Kiyai, semuanya adalah hal yang rumit. Sebenarnya pada mulanya hanya ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan kepada Hamka tentang makna Kiyai itu sendiri. Namun setelah para Kiyai terjun ke politik bahkan ucapan-ucapannya ada yang kurang pas, baik secara politik itu sendiri maupun bahkan secara Islam, maka pertanyaan itu muncul lagi serta lebih sarat makna, dalam arti Kiyai menjadi sosok yang tidak jelas lagi di mata masyarakat. Dan dikhawatirkan, sebutan Kiyai justru jadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang sebenarnya hanya mementingkan kepentingan diri mereka, keluarga mereka, dan golongan mereka. Yang hal itu tidak mudah digugat, karena belum ada kitab rujukan yang baku (istilah NU-nya mu’tabaroh) yang mengecam busuknya tingkah Kiyai. Sementara itu kalau sebutan ulama maka sudah banyak kitab baku yang bisa dijadikan panduan untuk mengecam tingkah buruk ulama suu’.
Dikhawatirkan akan muncul pandangan: “Saya kan hanya Kiyai, bukan ulama. Yang tergolong ada yang suu’ (jahat) itu kan ulama. Jangan disamakan dong, Kiyai dengan ulama. Kalau ulama sih, tak boleh berbuat begini dan begitu. Kalau Kiyai, boleh-boleh saja…”
Sekali pintu kejahatan itu terbuka, maka akan terbuka pula kejahatan-kejahatan lain yang bervariasi dan bisa lebih besar lagi. Sebutan Kiyai di sini sudah ada gejala terbukanya kejahatan-kejahatan, baik tersamar maupun bisa terasakan secara umum. Oleh karena itu, perlu ditutup pintu kejahatan itu. Di antara jalan yang praktis adalah membuang sebutan Kiyai itu sendiri, dari khazanah istilah Islam, kemudian dikembalikan kepada istilah Islam, yaitu ulama atau alim atau ‘allamah, atau syaikh seperti yang berlaku di dunia Islam. Hingga ulama yang benar bisa ditiru atau diteladani, sedang yang jahat atau suu’ bisa disingkiri, karena kriterianya sudah jelas.
Adapun sebutan Kiyai yang bisa disejajarkan dengan doktor oleh Departemen Agama sehingga bisa menduduki jabatan rektor suatu perguruan tinggi, contohnya KH Abdul Qadir Jaelani yang memimpin perguruan tinggi di Tanjung Priok Jakarta, hendaknya diganti dengan istilah yang pas pula, misalnya syaikh atau alim, atau ‘allamah. Dan tentunya perlu sesuai pula dengan kadar keilmuan, tentang siapa yang bisa dijuluki syaikh atau ‘alim atau ‘allamah. Bukan sekadar hafal syair ya Robbi bil Mushthofa ( يا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا yang syair itu sendiri mengandung persoalan secara aqidah karena mengandung tawassul/ perantara dengan orang yang sudah wafat, yang hal itu sama sekali tidak syar’i) lalu diberi gelar ‘alim atau ‘ulama atau ‘allamah, sebagaimana sekarang bisa digelari Kiyai.
Apakah para Kiyai akan ikhlas dengan usulan semacam ini? Wallahu a’lam. Itu urusan mereka. Hal yang baik dan yang benar dalam Islam tidak perlu persetujuan para Kiyai. Justru para Kiyai mestinya yang harus tunduk kepada kebenaran, kalau memang merekaistiqomah / konsisten dalam ber-Islam. Ini hanya mengingatkan, perlunya dibuang istilah Kiyai dari julukan keulamaan itu karena mengikuti kaidah saddudz dzarooi’ yaitu menutup jalan yang menuju bahaya. Kaidah itu diakui oleh para ulama dalam Ushul Fiqh. Bukti-bukti dan gejalanya telah nampak, maka sebelum kondisinya akan lebih parah, sebaiknya ditempuh jalan saddudz dzaroi’ itu.
Demikianlah. Apabila hal ini menyinggung perasaan para Kiyai, maka dengan sepenuh hati kami minta maaf. Walaupun demikian, pendapat ini tetap kami sengaja untuk dikemukakan. [Dikutip dari Buku “Bila Kyai Dipertuhankan”].
Catatan Kaki :
[1] Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MA, Kiai penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Gema Insani Press, Jakarta, cetakan I, 1977, halaman 62, mengutip Ahmad Adaby Darban, Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah, Yogyakarta, 1988, halaman 6, juga mengutip FA Sutjipto, Pemimpin-pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram Sekitar Abad 18, Yogyakarta 1971.
[2] Sunan di sini bukan bentuk jama’ (plural) dari kata Arab Sunnah (hadits ataupun tradisi) tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ ulama ataupun pejabat di mahkamah yang bahasa Arabnya Qodhi yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa pada masa itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab Sulthon.
[3] Ibnu Qoyim Isma’i, ibid, halaman 62.
[4] Ibid, halaman 63.
[5] Majalah Gema Islam No. 30 tahun II, 15 April 1963, kemudian dikumpulkan menjadi: Hamka Membahas Soal-soal Islam oleh H Rusydi dan Afif, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 397-398.
[6] Ibid, halaman 400
[7] Ibid, halaman 401.
oleh : HARTONO AHMAD JAIZ
Tetapi di balik itu ada Kiyai dogdeng (kebal) yang suka sesumbar bahwa wadyabalanya rata-rata jadug (sakti, tidak mempan senjata tajam). Ada juga Kiyai yang dari zaman Orde Baru pimpinan Presiden Soehartosukanya mendekat-dekat dengan penguasa, bahkan pernah bersama-sama puluhan Kiyai dipimpin Nur Iskandar SQ menghadiahi emas beberapa kilogram kepada Presiden Soeharto dengan dalih untuk mengatasi krisis ekonomi/ moneter. Setelah para Kiyai itu sowan (hadir dengan penuh ketundukan) ke tempat Presiden Soeharto, justru tak lama kemudian sang Presiden dipaksa turun dengan didemonstrasi oleh puluhan ribu mahasiswa selama dua minggu, hingga ia menyatakan turun dari kursi kepresidenan 1998.
Ada juga Kiyai yang mempelopori untuk disahkannya asas tunggal pancasila hingga kumpulan para Kiyai itu berbangga diri bahwa pihak mereka dengan Jam’iyah NU-nya adalah orang-orang yang nomor satu dalam hal menggulkan (mensukseskan untuk dipaksakannya) asas tunggal pancasila terhadap Ummat Islam. Padahal, Ummat Islam pada umumnya sangat kesulitan menghadapi tekanan Soeharto yang semakin terasa berpihak kepada palangis atau kaum Salib yang makin menjadi tirani minoritas dengan pengaruh Jendral Leonardo Benny Murdani saat itu dan menekan Islam selama hampir 30-an tahun. Sedang asas tunggal pancasila itu dinilai oleh kalangan Islam non NU dan Golkar sebagai salah satu jenis tekanan Soeharto terhadap Islam. Kiyai-Kiyai NU yang menggulkan asas tunggal pancasila itu di antaranya dipimpin Kiyai Haji Ahmad Siddiq (mendiang yang dulunya suka musik rock barat, satu kebiasaan yang jauh dari adab orang alim Islam, yang kitab-kitabnya menyebut sankres alias musik itu haram). Kemudian “jasanya” itu dibawa mati. Dan mereka yang masih hidup, mereka tidak merasa malu apalagi minta maaf kepada umat ketika Umat Islam bersyukur dan merasa lega saat asas tunggal pancasila itu ditendang oleh MPR dalam sidangnya 1998, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dan pemerintahan diserahkan kepada wakilnya, Prof Ir Baharuddin Jusuf Habibie. Sikap para Kiyai itu kalau diperbandingkan, masih agak mending Amien Rais (Ketua MPR) yang walaupun tanpa menyandang gelar Kiyai namun secara jantan dia meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas “ijtihad politiknya” (menurut istilah dia) yang salah ketika dulunya memprakarsai untuk memilih Gus Dur/ Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden yang ternyata setelah dijalani, kepemimpinan Gus Dur menurut Amien Rais menyebabkan Amien minta maaf kepada bangsa atas salah pilihnya itu. Hingga Amien Rais pun tampak bertanggung jawab terhadap bangsa Indonesia untuk berupaya bagaimana agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Sekalipun sikap Amien Rais itu jelas sikap politik, namun di situ tampak terus terang mengaku bahkan minta maaf atas kesalahannya, dan pula mau berusaha untuk menambal kesalahannya.
(Dalam hal ini para pembaca tidak usah buru-buru menyangka bahwa penulis pro Amien Rais, hingga membela-bela dia. Tidak. Karena, buku yang mengkritik Amien Rais berjudul Kekeliruan Logika Amien Rais pun telah penulis ujudkan dan cetak serta edarkan sebelum kami tulis buku Bahaya Pemikiran Gus Dur. Jadi tidak ada itu membela-bela Amien Rais segala. Kepentingan menampilkan sikap Amien Rais itu hanya untuk perbandingan antara sikap para Kiyai NU pendukung asas tunggal pancasila yang sampai dikenal sebagai nomor wahid, yang kemudian tidak mau mengakui kesalahan apalagi minta maaf, dan sikap Amien Rais yang terang-terangan secara jantan mengakui kesalahan dan minta maaf kepada bangsa Indonesia dalam kasus keterlanjurannya menjagokan Gus Dur sebagai presiden. Padahal resikonya jauh lebih berat bagi Amien Rais, sampai-sampai dihalalkan darahnya oleh Nur Iskandar SQ dan sering diboikot di Jawa Timur. Sementara itu, seandainya para Kiyai NU meminta maaf atas kengototannya menjadi pendukung pertama dipaksakannya asas tunggal pancasila, sebenarnya tidak ada resiko apa-apa, toh orang yang dijilati yaitu Presiden Soeharto sudah tidak berkuasa lagi. Itu saja persoalannya. Tapi Pak Amien Rais tidak usah bangga dengan perbandingan ini).
Pengertian Kiyai
Dalam buku Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MS menjelaskan sebagai berikut:
Di tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di daerah Jawa Barat (Sunda) orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat disebut Buya, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atauBendara yang disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa Tenggara orang memanggilnya dengan Tuan Guru. Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama anatara lain Wali. Gelar ini biasanya diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa.[1] Sering pula para wali ini dipanggil denganSunan[2] (Susuhunan), seperti halnya para raja. Gelar lainnya ialah Panembahan, yang diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual, juga menyangkut segi kesenioran, baik usia maupun nasab (keturunan). Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi.[3]
Selain itu, terdapat sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan Ki Ageng atau Ki Ageng/ Ki Gede, juga Kiai Haji.[4]
Gelar Kiai sebenarnya cukup terhormat. Namun di zaman kini, di saat buku ini ditulis, Maret 2001M/ Dzulhijjah 1421H, banyak para Kiai yang terjun ke dunia politik praktis, serta tersebar di masyarakat berbagai ucapan bahkan lakon Kiyai yang sebenarnya kurang sesuai dengan gelar kehormatan itu. Maka akibatnya timbul pertanyaan, apa sebenarnya Kiyai itu, dan apa pula kriterianya.
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, di samping sudah kita ketahui uraian di atas, perlu pula kita simak jawaban yang muncul dari kalangan ulama sendiri tentang julukan Kiai itu. Di antaranya apa yang dikemukakan oleh Prof Dr Hamka dalam menjawab pertanyaan orang tentang Kiyai Dukun. Di dalam hal ini Hamka menulis:
“…kami menyerukan kepada penanya dan saudara-saudara yang berminat supaya dicarilah Kiyai-kiyai yang benar-benar mengerti soalnya (soal agama Islam dengan aneka rangkaian ajarannya, di antaranya tentang ayat-ayat yang boleh dijadikan do’a-doa untuk menolak penyakit, pen) lalu pelajari sehingga bisa jadi tabib untuk diri sendiri. Karena kalimat Kiyai itu bukanlah artinya semata-mata untuk orang yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya.
Ada Kiyai berarti Guru Agama Islam yang telah luas pandangannya.
Ada Kiyai berarti pendidik, walaupun pendidik Nasional. (Kalau yang dimaksud Hamka itu misanya Hajar Dewantara, maka biasanya disebut Ki, bukan Kiyai; tetapi sebutan Ki itu kadang juga sama dengan Kiyai, seperti Ki Dalang itu sama dengan Kiyai Dalang, pen).
Ada Kiyai berarti Pak Dukun.
Di Kalimantan, Kiyai (sebelum perang) berarti District-hoofd (Wedana).
Di Padang (sebelum perang), Kiyai artinya “Cino Tuo” (Orang Tionghoa yang telah berumur).
Gamelan Sekaten di Yogya bernama Kiyai Sekati dan Nyi Sekati.
Dalang yang ahli disebut Ki Dalang, atau Kiyai Dalang.
Bendera Keramat yang dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam dalam negeri Yogyakarta bernama Kiyai Tunggul Wulung.[5]
Meskipun Hamka mampu menjelaskan kegunaan kata Kiyai seperti tersebut, namun dia terus terang mengungkapkan, “kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.
Di seluruh pulau Jawa yang terdiri dari tiga suku besar, yaitu Jawa, Sunda, dan Madura ditambah dengan Palembang, kata Kiyai digunakan untuk menghormati seseorang yang dianggap Alim, Ahli Agama dan disegani.
Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.
Bertahun-tahun lamanya Almarhum Bapak Kiyai Haji Hasan Corong jadi ketua Wilayah (Consul) Muhammadiyah daerah Kalimantan Selatan; umumnya orang di Jawa menyangka bahwa beliau adalah seorang Ulama besar, sebab di pangkal namanya ada titel “Kiyai”, padahal beliau adalah pensiunan Kiyai (District-hoofd), yaitu pangkat Bumiputera yang tertinggi di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) pada masa sebelum perang.
Tetapi di Sumatera Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, gelar Kiyai diberikan kepada Cina yang telah tua dan dihormati. Biasanya janggut beliau dipanjangi. Di tahun 1916 kami masih mendapati seorang Cina tua di kampung Cina Padang Panjang disebut orang Kiyai Makh Thong.
Rupanya kata-kata ini terdapat juga di Thailand (Siam), Ulama yang besar-besar dihormati di sana dalam kalangan orang Islam dalam menyebutnya (Guru Kriyai).[6]
Setelah kita mengetahui penjelasan Hamka itu, perlu disebutkan pula di sini bahwa masih ada pula sebutan Kiyai untuk hal-hal lain, di antaranya adalah keris atau tombak di Kraton Solo, bahkan Kiyai itu untuk menjuluki kerbau. Di Kraton Solo Jawa Tengah ada kerbau yang disebut Kiyai Slamet, yaitu kerbau yang dianggap keramat oleh orang-orang (yang tentu saja batil menurut Islam). Kebo (kerbau) yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram, yang disebut tanggal satu Syuro. (Bulan Muharram di Jawa disebut Syuro, mungkin karena di dalam bulan Muharram itu ada hari yang penting pada hari kesepuluh, namanya ‘Asyuro, hari kesepuluh Muharram, yang dalam Islam termasuk hari disunnahkannya puasa). Hingga kerbau yang dinamai Kiyai Slamet itu ke mana saja tidak diusik, bahkan sampai memakan dagangan sayuran dan sebagainya pun tidak diapa-apakan, karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), kerbau itu ketika makan dagangan tersebut dianggap justru akanngrejekeni (memberi rizki atau memberkahi). Jadi Kiyai yang berupa kerbau itu telah dianggap sebagai makhluk keramat, yang tentu saja hal itu merupakan satu jenis penyimpangan yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan.
Sementara itu upacara di Solo pula pada malam satu Syuro itu adalah “thawaf” mengelilingi benteng Mangkunegaran, Jalan raya melingkar di sekeliling benteng Mangkunegaran (kira-kira kelilingnya sepanjang 1,5 KM) itu berubah jadi tempat orang berjalan kaki mengitari benteng dengan mulut membisu. Jadi bagai thawaf di Ka’bah, tetapi membisu. Hanya saja kalau thawaf itu waktunya kapan saja, dan yang dikelilingi adalah Ka’bah Baitulllah di Makkah, 7 kali keliling, dalam keadaan suci dari hadats sebagaimana sucinya orang yang mau shalat. Sedang “thawaf” di Mangkunegaran ini mengelilingi benteng, dan bentengnya itu di sebelah kanan (kalau Thawaf, Ka’bahnya di sebelah kiri, berputarnya berlawanan dengan jarum jam) dan berputarnya searah dengan jarum jam, waktunya hanya malam satu Syuro., dan harus “puasa” bisu, tidak berkata-kata. Kesempatan berdesakan di tengah malam itu konon digunakan pula oleh muda-mudi untuk main senggol. Antara upacara mengelilingi benteng dan dilepasnya Kerbau Kiyai Slamet ini waktunya sama, yaitu malam satu Syuro.
Jadi ada kerbau yang dikeramatkan dengan dijuluki Kiyai Slamet, dan ada acara bid’ah menthawafi (mengelilingi) benteng dengan mulut membisu pada malam satu Syuro. Demikianlah menurut pengamatan penulis.
Lantas, siapa yang menjuluki Kiyai itu?
Hamka pun tidak menentukan, siapa yang berhak menjuluki Kiyai terhadap aneka macam tersebut di atas. Hamka menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu, siapa yang berwenang menjuluki Kiyai, sebagai berikut:
“Nampaknya tidak ada suatu ketentuan tentang siapa yang berwenang memberikan gelar Kiyai. Nampaknya apabila telah bisa disebut Kiyai, lekat sajalah gelar itu. Lantikannya yang tertentu tidak ada. Oleh sebab memberi gelar Kiyai itu tidak ada peraturannya yang tertentu dan hanya menurut kesukuan orang saja dan diterima masyarakat, maka dipanggil orang Kiyai juga menurut kebiasaan orang Jawa.”[7]
Jawaban Hamka itu dikemukakan pada tahun 1963. Pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, ulama Jakarta atau Betawi biasanya disebut dengan Guru, misalnya Guru Mughni di Kuningan Jakarta, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin (Zainuddin) di Kalibata Pulo, Guru Amin di Kalibata dan sebagainya. Baru belakangan terbiasa menyebut ulama dengan nama Kiyai yang kadang-kadang disingkat jadi Kaha (KH, Kiyai Haji) di antaranya Kiyai Abdullah Syafi’i, menurut orang kampung Bali (Matraman) sebutannya Kiyai Duloh., yang kemudian terkenal lewat radionya-As-Syafi’iyah, demikian pula Kiyai Thahir Rahili dengan radionya At-Thahiriyah di Kampung Melayu, kedua-duanya memiliki pesantren dan perguruan Islam. Selanjutnya ulama Betawi juga disebut Kiyai, di antaranya Kiyai Syafi’i Hazami, yang memang ulama terkemuka di kalangan masyarakat Betawi. Hanya saja sebutan Kiyai belum tentu lekat pula pada ulama Betawi. Contohnya, seorang ulama alumni Timur Tengah, yang kitab-kitabnya di antaranya tentang Madzhab Imam Syafi’i menjadi rujukan di Universitas Al-Azhar Mesir, yaitu Dr HA Nahrawi Abdus Salam (rumahnya dekat Masjid Al-Munawar Jl Raya Pasr Mingu Pancoran Jakarta Selatan) jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil Doktor saja. Sebagaimana penulis kawakan dan budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak mengembel-embeli titel Kiyai dalam mengisahkan DR HA Nahrawi Absus Salam pada buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, 1994. Justru gelar Syaikh lah yang dikenakan pada ulama Betawi, walaupun memang adanya di Makkah, sebagaimana dipaparkan oleh Ridwan Saidi:
“Jika seluruh bangsa Indonesia yang tinggal merantau di Jakarta di zaman penjajahan itu berkejar mencari kemegahan di sisi bangsa Belanda yang menjajah, mengembara ke negari Belanda, namun si anak Betawi berduyun-duyun pergi ke Mekah. Bukan berduyun ke negeri Belanda. Sampai di Mekah mereka bukan semata-mata jadi babu atau khadam yang duduk di tingkat bawah, melainkan –sekurang-kurangnya—menjadi orang menengah (middenstand) yang berpengaruh. Saya teringat ketika perjanjian penyerahan Raja Ali anak Raja Husin, raja negeri Mekah yang diserang oleh Raja Ibnu Saud tahun 1925, ketika kota Jeddah sudah dikepung lama sekali, akhirnya Raja Ali mengaku kalah dan diadakan delegasi pendamai kedua belah pihak. Setengah dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Raja Ali ialah supaya beberapa orang besar dan ternama yang jadi hidup bertalian erat dengan Baginda (Raja Ali, pen) dibebasakan. Di antaranya ialah beberapa nama yang di ujung nama itu disebut “:Betawi”: Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, Syaikh Sa’id Betawi. Keturunan keluarga Betawi itu masih ada sampai sekarang (1994, pen) dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabi, baik di Mekah maupun Jeddah.[8] Dari sini bisa difahami bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai untuk sebutan ulama pun yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan tampaknya budaya munduk-munduk (sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.
Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Adapun ulama ataupun da’i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi saw maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab “keturunan” Nabi saw. Sedang habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau bahkan ulama dan “keturunan” Nabi saw. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau “keturunan” Nabi saw maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
(Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habi itu sudah mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum, wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai Haji Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi’ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi’iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara persaaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan mengaku kepada penulis bahwa dirinya diplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu).
Tampaknya tradisi munduk-munduk (sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan” Nabi saw dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”.
Kini, setelah muncul Kiyai-kiyai yang dipandang oleh masyarakat sebagai provokator dan sebagainya, bahkan ada yang kena skandal, apakah julukan Kiyai yang tadinya tidak melekat di kalangan Ulama Betawi/ Jakarta itu harus mereka kembalikan ke asalnya yaitu Guru atau bahkan Ulama atau Alim saja? Istilah “Ulama Betawi” sebenarnya sudah melekat dalam bahasa masyarakat. Sedang istilah Kiyai sebenarnya selalu jadi tanda tanya. Karena, di samping munculnya itu dari Jawa (biasanya di Jakarta, yang disebut Jawa itu tidak termasuk Jakarta), juga istilah Kiyai itu mengandung aneka macam makna, dari kerbau yang dianggap keramat sampai bendera yang dikeramatkan, atau bahkan dukun santet ataupun tukang sihir. Walaupun memang masih diakui pula istilah Kiyai itu ada yang untuk ulama betulan.
Sebutan Kiyai mungkin lebih diminati dan ni’mati
Kalau ditilik dari segi praktis dan pragmatisnya, bahwa Kiyai itu yang di-munduk-munduki atau sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti, maka tampaknya justru sebutan Kiyai itulah yang lebih mereka minati. Di samping masyarakat sudah bisa diharapkan akan tunduk lagi hormat kepada Sang Kiyai, toh pada masa akhir-akhir ini sosok-sosok Kiyai itu seolah telah bebas berbuat, termasuk dalam berbuat cabul dan berbohong sana sini atau berakhlaq tidak nggenah. (Kadang keburukan-keburukannya itu bahkan ada pihak-pihak yang membelanya dengan dalih maqomnya/ tingkatnya sudah mencapai derajat wali, yang menurut faham sesat mereka adalah terbebas dari segala hukum dan hukuman). Sehingga Kiyai model itu walaupun sudah sedemikian buruknya menurut agama, namun penghormatan tetap didapat, sedang penjagaan diri sebagai orang yang wara’ (sangat hati-hati terhadap yang makruh, apalagi yang haram) sudah tercabut dari “keharusan”. Kan malah lebih gampang. Kenapa repot-repot harus mengembalikan Istilah Kiyai kepada istilah yang berat-berat yaitu “Guru” apalagi Ulama/ Alim ataupun Syaikh. Kan itu bikin capek (payah) saja.
Begitulah kira-kira, kalau kita mau ber-suud dhon (buruk sangka) kepada mereka. Walaupun tentu saja hal itu hanya berlaku bagi Kiyai-kiyai gadungan, yang istilah terkenalnya dalam terminologi Islam adalah ulama suu’ (yaitu ulama yang jahat), yang banyak dikecam oleh ulama salaf (terdahulu). Ulama Suu’ itu di antaranya adalah ulama-ulama yang suka masuk keluar ke istana atau pintu penguasa, bahkan ulama seperti itu mereka sebut sebagai maling (lisshun – لص ). Tetapi rupanya kini jumlahnya makin banyak, padahal kitab-kitab yang mengecam tingkah polah itu masih berada pada tangan-tangan mereka pula, sekalipun tidak lagi diajarkan kepada para santrinya, karena ulama tersebut cukup mengajari berdemo bersama antek-antek komunis untuk merusak dan menghancurkan masjid, madrasah, panti asuhan milik Muslimin yang dulunya ketika memberantas Bid’ah, Khurofat, dan syirik yang jadi “kareman” (kegemaran) si perusak ini, dulu tidak punya alasan untuk menolak pemberantasan bid’ah itu dengan cara menghancurkan masjid-masjid pemberantas bid’ah. Nah sekarang mumpung kelompok perusak ini sedang ada setitik alasan yang dibuat-buat, yakni membela Kiyainya yang jadi presiden namun ingin didongkel oleh orang-orang yang di antaranya adalah kelompok anti Bid’ah, maka masjid ataupun sarana da’wah Islam yang dimiliki kelompok anti Bid’ah pun kesempatan untuk dihancurkan oleh mereka yang “karem” (gemar) bid’ah itu bersama kelompok anti Islam bahkan anti Tuhan. Lalu mereka ramai-ramai cuci tangan dengan ucapan-ucapan yang mereka bikin-bikin. Padahal sebelumnya, santer terdengar, kalau Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden maka mereka mau mengerahkan massa. Namun setelah Gus Dur benar-benar digoyang oleh DPR, lalu massa benar-benar terkerahkan dan sampai mengadakan perusakan di mana-mana, lalu secepatnya mereka cuci tangan dengan ucapan. Misalnya ucapan, Kami bersedia membantu satu miliar Rupiah kepada gedung-gedung atau sarana milik Muhammadiyah apabila benar-benar terbukti bahwa yang merusaknya itu dari kalangan NU kami. Keruan saja pihak Muhammadiyah menolak sumbangan yang bersyarat itu. Karena, menurut Muhammadiyah, kalau memang mau menyumbang ya tidak usah bersyarat seperti itu. Karena yang namanya pembuktian itu harus lewat pengadilan.
Tidak puas hanya merusak masjid dan sebagainya, mereka juga beramai-ramai menebangi ratusan pohon pinggir jalan untuk ditaruh di jalan-jalan guna menghalangi orang lewat, agar para santri-santri dan masyarakat yang dikerahkan untuk menghalangi jalan itu imannya habis punah, Tidak cukup hanya dicekoki bid’ah, khurofat, dan takhayul, tapi imannya perlu dikikis benar-benar. Soalnya dalam Islam, justru bagian dari iman itu di antaranya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, namun kini di antara ulama suu’ atau orang-orang yang belajarnya kepada ulama suu’, mereka ramai-ramai menebangi ratusan pohon di Jawa Timur untuk ditlalangkan guna menghalangi jalan-jalan raya. Peristiwa yang merusak dan merugikan bagi umum itu terjadi di Jawa Timur dalam rangka ‘ashobiyah(fanatik buta), yaitu membela Presiden Gus Dur, agar tidak diturunkan dari jabatannya, Februari 2001M. Dalam Islam, membuang gangguan yang ada di jalan adalah termasuk bagian dari iman. Lantas perlu ditanyakan kepada para Kiyai pendukung Gus Dur terutama di Jawa Timur, bukankah membuat halangan besar-besaran di jalan raya serta merusak pohon dengan menebanginya; itu berarti membuang iman? Bukankah demikian?
Antara ajaran Islam dan kepentingan orang-orang yang mengerti Islam yaitu ulama atau Kiyai yang berkendaraan hawa nafsu, memang kadang ada jaraknya yang sangat jauh, bahkan kadang sangat berbalikan. Selama kepentingan-kepentingan nafsu bahkanashobiyah/ fanatik golongan itu masih lebih diunggulkan dibanding ajaran Islam itu sendiri, maka apa saja bisa dikorbankan demi kepentingan, demi golongan, demi perintah syetan, bukan demi Islam. Termasuk di dalamnya, kalau hanya masalah nama, yaitu ulama atau guru agama atau da’i, yang ketiga-tiganya tidak mendatangkan “manfaat” dari segi kepentingan untuk “dimunduk-munduki“, maka tentu saja mereka lebih pilih julukan Kiyai, yang walaupun sebutan itu juga dipakai untuk kerbau namun mengandung unsur adanya “kebiasaan munduk-munduk” dari santri dan masyarakat terhadap Kiyai. Maka bisa diperkirakan, mereka tidak rela apabila julukan Kiyai itu diganti dengan Guru atau bahkan Ulama atau Syaikh sekalipun. Walaupun mereka sering menonjol-nonjolkan Hadits Al-‘Ulamaau warotsatul Anbiyaa’. Ulama itu pewaris para Nabi.
Kenapa lebih pilih julukan Kiyai?
Karena, di samping hal tersebut di atas yaitu dimunduk-munduki (sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti), masih ada alasan lain pula. Dalam kitab-kitab cukup banyak kecaman terhadap ulama’ suu’ (ulama jahat). Namun tidak tercantum dalam kitab-kitab adanya keterangan mengenai kecaman terhadap Kiyai suu’ (jahat). Bahkan kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet dipersilakan secara bebas dan merdeka untuk berkeliaran ke mana saja dan makan apa saja serta menginjak-injak apa saja boleh, dan tidak dijuluki Kiyai suu’ (jahat). Malahan yang diinjak-injak ataupun hartanya dimakan itu justru senang, karena mereka percaya (dalam kondisi kepercayaan batil) akan mendapatkan berkah dan rejeki. Itulah kurang lebihnya.
Julukan Kiyai untuk ulama perlu dihapus
Kalau hal ini dibiarkan, maka kondisi semakin runyam. Maka perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kiyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas. Tetapi, maukah mereka? Dan maukah masyarakatnya? Justru hal-hal yang tidak jelas itulah yang mereka cari, kadang-kadang. Itulah persoalannya pula.
Dari kenyataan itu, maka sangat baguslah orang-orang yang konsisten, dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kiyai. Sebagaimana Hamka, Ptof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam namun tidak disebut Kiyai, serta tidak menyebut dirinya Kiyai. Walaupun secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
Seandainya para ulama yang kini digelari Kiyai itu ikhlas mencopot gelar Kiyainya dan tak mau lagi disebut Kiyai, maka biar sekalian ketahuan bahwa Kiyai yang masih rela disebut Kiyai adalah Kiyai Dukun saja. Itu mungkin lebih baik, karena memang di dalam Islam tidak ada istilah Kiyai itu, demikian pula adat-adat yang lekat dengan kekiyaian kalau dicocokkan dengan Islam tampaknya memang sering berjauhan. Contoh paling kecil saja, setiap kongres para Kiyai NU, (namanya bukan kongres Kiyai, tapi biasanya kongres Ulama), hampir bisa dipastikan mesti dikintil (disertai) oleh sponsor dari pabrik rokok. Asbak tempat puntung rokok lengkap dengan cap pabrik rokok mesti berjajar berderet-deret di hadapan para Kiyai. Apakah merokok itu menjadi salah satu perbuatan yang diafdholkan (diutamakan) dalam Islam? Paling kurang, mesti hukumnya makruh, perlu ditinggalkan. Tetapi kenapa justru para Kiyai menjadi contoh buruk dalam masalah ini? Sehingga kalau orang yang suka bercanda akan bisa bilang, yang terpilih dalam jam’iyah itu tentunya yang paling jago dalam merokok. Lho kenapa? Karena setiap kongres apalagi muktamar, mesti dikintil / diikuti oleh sponsor yaitu pabrik rokok.
Antara “harus” membuang julukan Kiyai dengan memperbaiki mental dan polah tingkah Kiyai, semuanya adalah hal yang rumit. Sebenarnya pada mulanya hanya ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan kepada Hamka tentang makna Kiyai itu sendiri. Namun setelah para Kiyai terjun ke politik bahkan ucapan-ucapannya ada yang kurang pas, baik secara politik itu sendiri maupun bahkan secara Islam, maka pertanyaan itu muncul lagi serta lebih sarat makna, dalam arti Kiyai menjadi sosok yang tidak jelas lagi di mata masyarakat. Dan dikhawatirkan, sebutan Kiyai justru jadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang sebenarnya hanya mementingkan kepentingan diri mereka, keluarga mereka, dan golongan mereka. Yang hal itu tidak mudah digugat, karena belum ada kitab rujukan yang baku (istilah NU-nya mu’tabaroh) yang mengecam busuknya tingkah Kiyai. Sementara itu kalau sebutan ulama maka sudah banyak kitab baku yang bisa dijadikan panduan untuk mengecam tingkah buruk ulama suu’.
Dikhawatirkan akan muncul pandangan: “Saya kan hanya Kiyai, bukan ulama. Yang tergolong ada yang suu’ (jahat) itu kan ulama. Jangan disamakan dong, Kiyai dengan ulama. Kalau ulama sih, tak boleh berbuat begini dan begitu. Kalau Kiyai, boleh-boleh saja…”
Sekali pintu kejahatan itu terbuka, maka akan terbuka pula kejahatan-kejahatan lain yang bervariasi dan bisa lebih besar lagi. Sebutan Kiyai di sini sudah ada gejala terbukanya kejahatan-kejahatan, baik tersamar maupun bisa terasakan secara umum. Oleh karena itu, perlu ditutup pintu kejahatan itu. Di antara jalan yang praktis adalah membuang sebutan Kiyai itu sendiri, dari khazanah istilah Islam, kemudian dikembalikan kepada istilah Islam, yaitu ulama atau alim atau ‘allamah, atau syaikh seperti yang berlaku di dunia Islam. Hingga ulama yang benar bisa ditiru atau diteladani, sedang yang jahat atau suu’ bisa disingkiri, karena kriterianya sudah jelas.
Adapun sebutan Kiyai yang bisa disejajarkan dengan doktor oleh Departemen Agama sehingga bisa menduduki jabatan rektor suatu perguruan tinggi, contohnya KH Abdul Qadir Jaelani yang memimpin perguruan tinggi di Tanjung Priok Jakarta, hendaknya diganti dengan istilah yang pas pula, misalnya syaikh atau alim, atau ‘allamah. Dan tentunya perlu sesuai pula dengan kadar keilmuan, tentang siapa yang bisa dijuluki syaikh atau ‘alim atau ‘allamah. Bukan sekadar hafal syair ya Robbi bil Mushthofa ( يا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا yang syair itu sendiri mengandung persoalan secara aqidah karena mengandung tawassul/ perantara dengan orang yang sudah wafat, yang hal itu sama sekali tidak syar’i) lalu diberi gelar ‘alim atau ‘ulama atau ‘allamah, sebagaimana sekarang bisa digelari Kiyai.
Apakah para Kiyai akan ikhlas dengan usulan semacam ini? Wallahu a’lam. Itu urusan mereka. Hal yang baik dan yang benar dalam Islam tidak perlu persetujuan para Kiyai. Justru para Kiyai mestinya yang harus tunduk kepada kebenaran, kalau memang merekaistiqomah / konsisten dalam ber-Islam. Ini hanya mengingatkan, perlunya dibuang istilah Kiyai dari julukan keulamaan itu karena mengikuti kaidah saddudz dzarooi’ yaitu menutup jalan yang menuju bahaya. Kaidah itu diakui oleh para ulama dalam Ushul Fiqh. Bukti-bukti dan gejalanya telah nampak, maka sebelum kondisinya akan lebih parah, sebaiknya ditempuh jalan saddudz dzaroi’ itu.
Demikianlah. Apabila hal ini menyinggung perasaan para Kiyai, maka dengan sepenuh hati kami minta maaf. Walaupun demikian, pendapat ini tetap kami sengaja untuk dikemukakan. [Dikutip dari Buku “Bila Kyai Dipertuhankan”].
Catatan Kaki :
[1] Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MA, Kiai penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Gema Insani Press, Jakarta, cetakan I, 1977, halaman 62, mengutip Ahmad Adaby Darban, Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah, Yogyakarta, 1988, halaman 6, juga mengutip FA Sutjipto, Pemimpin-pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram Sekitar Abad 18, Yogyakarta 1971.
[2] Sunan di sini bukan bentuk jama’ (plural) dari kata Arab Sunnah (hadits ataupun tradisi) tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ ulama ataupun pejabat di mahkamah yang bahasa Arabnya Qodhi yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa pada masa itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab Sulthon.
[3] Ibnu Qoyim Isma’i, ibid, halaman 62.
[4] Ibid, halaman 63.
[5] Majalah Gema Islam No. 30 tahun II, 15 April 1963, kemudian dikumpulkan menjadi: Hamka Membahas Soal-soal Islam oleh H Rusydi dan Afif, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 397-398.
[6] Ibid, halaman 400
[7] Ibid, halaman 401.
oleh : HARTONO AHMAD JAIZ
0 komentar:
Posting Komentar