Hari Lahir
Imam Muhammad Al-Baqir as dilahirkan pada awal bulan Rajab tahun 57 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kelima Ahlulbait as. Ayahnya adalah Imam Ali Zainal Abidin as, dan ibunya adalah seorang wanita dari keturunan Imam Hasan as yang bernama Fatimah.
Dengan demikian, Imam Muhammad Baqir as adalah imam pertama yang memiliki nasab keturunan Rasulullah saw dari pihak ayah dan ibu, sekaligus.
Imam Al-Baqir as mengalami hidup bersama kakeknya, Imam Husain as pada saat tragedi Karbala, yang ketika itu beliau masih berusia empat tahun.
Beliau hidup bersama ayahnya selama 18 tahun dan masa itu adalah masa keimamahan (kepemimpinan)-nya. Beliau mengkhidmatkan masa-masa hidupnya demi menyebarkan ilmu pengetahuan Islam.
Orang-orang memberi beliau gelar Al-Baqir (Sang Jenius), karena beliau telah membongkar ilmu pengetahuan dari khazanah-khazanahnya. Imam as juga memiliki gelar-gelar lain yang menunjukkan sifat dan akhlak agung beliau, seperti Asy-Syakir (yang banyak bersyukur) dan Al-Hadi (pemberi petunjuk).
Sewaktu masih berusia belia, Imam Muhammad Al-Baqir as bertemu dengan sebagian besar sahabat utama Nabi, seperti Jabir bin Abdillah Al-Anshari. Kepada beliau Jabir mengatakan, “Rasulullah mengirimkan salam untukmu.” Salam ini membuat orang-orang yang hadir saat itu menjadi heran.
Jabir melanjutkan, “Suatu hari aku sedang duduk bersama Rasulullah, sedangkan Husain as berada di haribaannya. Beliau berkata padaku, ‘Hai Jabir, putraku ini kelak mempunyai seorang anak yang bernama Ali. Dan pada Hari Kiamat, seseorang akan memanggilnya ‘Sayyidul Abidin’. Kemudian melalui Ali, seorang anak yang bernama Muhammad Al-Baqir—yang memiliki keluasan ilmu—akan lahir. Bila engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku kepadanya.’”
Imam Al-Baqir as memiliki dua kebun yang dikelola oleh beliau sendiri. Beliau melibatkan para petani untuk menuai hasil kebunnya, serta menginfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Pada zaman itu, beliau dikenal sebagai orang yang paling dermawan.
Dinukil dalam kitab-kitab sejarah, bahwa seorang sufi bernama Muhammad bin Al-Munkadir berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang seperti Ali bin Husain as yang meninggalkan keturunan yang begitu utama, sampai aku melihat putranya Muhammad as. Aku hendak menasihatinya, ia malah lebih dulu menasihatiku. Pada suatu hari, saat matahari terik menyinari bumi, aku keluar menuju sebuah daerah di luar kota Madinah. Aku bertemu dengan Muhammad bin Ali as yang sedang bersandar pada dua orang budaknya. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Orang tua Quraisy di saat seperti ini masih sibuk mencari dunia? Demi Allah, aku akan menasihatinya.’
“Aku mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku. Aku melihat dia penuh dengan peluh yang membasahi tubuhnya. Aku berkata padanya, ‘Semoga Allah memberikan hidayah-Nya padamu, wahai orang tua Quraisy. Di saat seperti ini kau masih sibuk mencari dunia? Bagaimana kalau sekiranya maut datang menjemputmu sedang kau dalam keadaan seperti ini?’
“Ia melepaskan kedua tangannya dari sandaran kedua budaknya dan berkata, ‘Demi Allah, jika sekiranya maut datang kepadaku dalam keadaan seperti ini, sungguh ia datang kepadaku sedang aku dalam ketaatan kepada Allah, yang dengannya jiwaku bisa terhindar darimu dan manusia lainnya. Sesungguhnya yang aku takutkan adalah bila kematian itu datang sedang aku dalam keadaan bermaksiat kepada Allah.’
“Mendengar jawabannya, aku membalas kagum, ‘Semoga Allah mengasihimu. Aku sebenarnya ingin menasihatimu, malah kaulah yang menasihatiku.’”
Dalam kisah ini, Imam Muhammad Al-Baqir as menunjukkan sikap tegas beliau sehingga orang dapat memahami, bahwa mencari rezeki itu adalah ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT, bukan malah meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan waktunya untuk salat sementara hidupnya menjadi tanggungan orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi, seperti Ibn Al-Munkadir dan yang lainnya.
Keilmuan Imam
Seorang warga Syam, yang sebelumnya enggan hadir di majlis Imam Muhammad Al-Baqir as, berkata kepada beliau, “Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih aku benci daripadamu. Kebencian padamu sungguh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Meski begitu, aku melihatmu begitu sopan, beradab serta bertutur-kata yang santun. Maka ketahuilah, kehadiranku di majlismu ini karena kebaikan budi dan bahasamu.”
Dalam setiap kesempatan, Imam Al-Baqir as selalu mengatakan yang baik. Kepada orang Syam itu Imam as mengatakan, “Tiada sesuatu pun yang tersembunyi di sisi Allah SWT.”
Selang beberapa hari, orang tersebut tidak pernah kelihatan lagi. Imam as merasa kehilangan. Beliau bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya. Kata mereka, orang itu sedang sakit.
Imam as bergegas menjenguknya. Beliau duduk di sisinya sambil bercakap-cakap dan bertanya tentang penyebab sakitnya. Lalu, Imam menganjurkan agar memakan makanan yang dingin dan segar. Setelah itu, Imam as pun meninggalkan orang tersebut.
Beberapa hari kemudian, orang itu pulih dari sakitnya. Pertama kali yang dia lakukan ialah pergi ke majelis Imam as. Di sana, dia memohon maaf kepada Imam, dan akhirnya menjadi salah satu sahabat beliau.
Dikisahkan, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang sebuah masalah. Abdullah kebingungan menjawabnya. Ia berkata kepada si penanya, “Pergilah kepada anak itu, dan tanyalah padanya, kemudian beritahukan jawabannya kepadaku.” Anak yang dimaksudkannya itu ialah Imam Muhammad Al-Baqir as.
Maka orang tersebut datang kepada Imam as. dan bertanya padanya. Selekas itu, ia kembali kepada Abdullah dengan membawa jawaban yang didapatkannya dari beliau. Abdullah berkata, “Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait Nabi yang telah diberikan pemahaman tentang segala sesuatu.”
Dialog dengan Pendeta
Imam Ja’far Ash-Shadiq as menceritakan, bahwa suatu ketika beliau berada di Syam bersama ayahnya (Imam Muhammad Al-Baqir as). Keberadaan mereka di Syam karena Khalifah Hisyam bin Abdul Malik meminta mereka untuk datang ke sana.
Pada suatu hari, Imam Al-Baqir as melihat kerumunan orang-orang di sebuah tempat. Semua sedang menantikan seseorang. Beliau menanyakan perihal mereka itu. Dijawab, “Mereka itu sedang menunggu salah seorang pendeta, karena ia hanya muncul setahun sekali. Mereka bertanya dan meminta fatwa darinya.”
Imam as ikut menunggu bersama mereka sampai pendeta tersebut datang. Tatkala pendeta itu melihat Imam, ia menyapa beliau, “Apakah Anda dari golongan kami atau dari umat yang perlu dikasihani ini?”
Imam as menjawab, “Aku dari umat ini.”
Pendeta bertanya lagi, “Dari orang awam umat ini atau dari ulamanya?”
Imam menjawab, “Aku bukan dari orang awamnya.”
Pendeta berkata lebih serius, “Aku punya beberapa pertanyaan untuk Anda; dari mana Anda percaya bahwa penghuni surga makan dan minum tapi mereka tidak buang air?”
Imam as menjawab, “Bukti kami adalah janin yang ada dalam rahim ibunya. Ia makan tapi tidak buang kotoran.”
Pendeta itu bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang setenggat waktu yang tidak terhitung malam juga tidak terhitung siang.”
Imam as menjawab, “Waktu di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari.”
Mendengar jawaban-jawaban Imam as, sang pendeta terkejut. Ia ingin sekali membungkam Imam dengan pertanyaan lain. Ia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang dua bayi yang keduanya dilahirkan pada hari yang sama dan meninggal pada hari yang sama juga. Umur bayi yang pertama 50 tahun dan yang kedua 150 tahun.”
Imam as menjawab, “Uzair dan saudaranya, saat itu usia Uzair 25 tahun. Tatkala melewati suatu desa di Antakia yang ditinggal mati oleh penduduknya, ia merenung, ‘Bagaimana Allah akan menghidupkan penduduk ini setelah kematian mereka?’
“Kemudian Allah SWT mematikan Uzair selama 100 tahun, lalu membangkitkannya lagi dan ia kembali ke rumahnya dalam keadaan muda, sementara saudaranya sudah tua-renta. Uzair hidup bersama saudaranya selama 25 tahun, dan kedua bersaudara itu pun meninggal pada hari yang sama.”
Melihat keluasan dan ketinggian ilmu Imam Al-Baqir as ini, pendeta itu lagi-lagi takjub. Tak ayal lagi, ia pun menyatakan keislamannya di depan khalayak, dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya.
Di Majelis Hisyam
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mengundang Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja’far Ash-Shadiq. Karena itu, keduanya meninggalkan Madinah, bergerak menuju Syam. Tujuan undangan Hisyam sebenarnya hendak menunjukkan kebesaran kerajaannya.
Setibanya di Syam, Imam Al-Baqir as memasuki istana, yang ketika itu Hisyam duduk di atas singgasana dengan dikelilingi oleh pengawal bersenjata dan di depannya ada golongan elite yang siap berlomba memanah. Hisyam berkata, “Ya Muhammad! Coba kau bertanding melawan orang-orang ini dan bidikkan panah ke sasaran!”
Imam as berkata, “Sesungguhnya aku sudah lama meninggalkan permainan memanah. Maafkan aku.”
Hisyam menolak alasan Imam, dan memaksanya untuk melakukannya. Ia pun menyuruh seorang tokoh dari Bani Umayyah untuk mengambilkan panah dan busurnya. Akhirnya, Imam as menerimanya dan meletakkan anak panah itu pada busurnya, kemudian ia lesatkan ke sasaran dan tepat mengenai titik pusatnya. Untuk kedua kalinya, beliau membidikkan anak panah, hingga yang kesembilan kali. Semua anak panah itu menancap tepat pada sasaran.
Hisyam pun tercengang melihat kepandaian Imam as dan memujinya sambil berkata, “Alangkah pandainya kau wahai Abu Ja’far. Kau adalah orang yang paling pandai memanah dari kalangan Arab dan Ajam. Beginikah kau katakan, ‘Aku sudah lama meninggalkan permainan memanah?”
Kemudian, Hisyam menuntun Imam Al-Baqir as dan mendudukkannya di sampingnya. Ia berkata, “Wahai Muhammad! Bangsa Arab dan Ajam akan senantiasa mengikuti orang-orang Quraisy selagi di tengah-tengah mereka ada orang sepertimu. Demi Allah, siapa yang mengajarimu memanah? Dan pada usia berapakah kau mempelajarinya?”
Imam as menjawab, “Aku belajar di masa aku masih kecil, kemudian aku tinggalkan.”
Hisyam berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa di atas bumi ini masih ada orang yang memanah seperti ini. Apakah Ja’far (putra Imam as) juga dapat memanah seperti ini? Apakah dia juga dapat memanah sebagaimana engkau memanah?”
Imam as menjawab, “Kami Ahlulbait Nabi mewarisi kesempurnaan dan kelengkapan yang keduanya telah Allah SWT turunkan kepada Nabinya saw dalam firmannya, ‘Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah aku lengkapkan nikmatku untukmu serta aku rela Islam sebagai agamamu.’”
Mendengar jawaban itu, muka Hisyam memerah lantaran marah dan berkata, “Dari mana kau mewarisi ilmu ini, padahal tidak ada nabi setelah Muhammad dan kau sendiri juga bukanlah seorang nabi?”
Imam as menjawab, “Kami mewarisinya dari datuk kami Ali bin Abi Thalib as. Beliau pernah berkata, ‘Rasulullah saw telah mengajariku seribu pintu ilmu ... Dari setiap pintunya terbuka seribu ilmu lagi ....”
Hisyam pun diam tertunduk sambil berpikir. Lalu ia memerintahkan pengawalnya untuk mengembalikan Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja’far Ash-Shadiq as ke Madinah secepat mungkin, karena ia takut kehadiran dua Imam ini di Syam akan mengundang simpati warga kota kepada mereka.
Mata Uang Islam
Perebutan batas-batas wilayah yang sangat keras sekali telah terjadi antara negara Islam dan Romawi. Imperium Romawi mengancam Abdul Malik bin Marwan akan memutus mata uang negara Islam bila tidak menyerahkan wilayah-wilayah yang dipersengketakan. Abdul Malik merasa ketakutan dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia kumpulkan pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh umat Islam untuk dimintai pendapatnya, tapi mereka tidak bisa memberikan keputusan apa-apa. Akhirnya, sebagian mereka mengusulkan agar merujuk kepada Imam Muhammad Al-Baqir as.
Lalu, Abdul Malik mengutus utusan untuk memanggil Imam as ke Syam. Beliau pun memenuhi panggilan tersebut. Setelah mengetahui duduk persoalan, beliau mengatakan kepada Abdul Malik, “Tidak ada yang perlu ditakutkan. Cepat kirim utusan ke Kaisar Romawi dan mintalah jangka waktu darinya. Di sela-sela itu, kirimlah surat ke gubernur-gubernur daerah, dan perintahkan mereka untuk mengumpulkan emas dan perak, sehingga bila telah sampai jumlah yang cukup, segeralah engkau mencetak mata uang Islam!”
Kemudian, Imam as menentukan timbangan dan bentuknya. Beliau memerintahkan Abdul Malik untuk menuliskan di atas salah satu sisi uang tersebut kalimat “Muhammad Rasulullah.” Bila pekerjaan ini telah selesai, tidak akan terjadi transaksi dengan mata uang Romawi. Ketika itulah Imperium Romawi tidak akan punya kekuatan lagi di hadapan pemerintahan Islam.
Setelah pekerjaan itu selesai dan mata uang Islam sudah tersebar, Abdul Malik mengeluarkan keputusannya yang terakhir mengenai persengketaan batas-batas wilayah.
Dan ternyata, Imperium Romawi tidak mendapatkan cara apapun untuk melancarkan tekanan terhadap ekonomi negara Islam. Maka, dipilihlah jalan militer. Akan tetapi, mereka pun gagal, setelah laskar-laskar muslimin menyerang pasukan mereka.
Demikianlah Imam kita, Imam Muhammad Al-Baqir as. Dengan pikiran dan arahannya yang cemerlang, beliau telah menyelamatkan pemerintahan Islam dari ancaman musuh-musuh, sehingga kaum muslimin memiliki mata uang sendiri yang menjadi lambang kebesaran Islam.
Sahabat-Sahabat Imam
Tatkala orang-orang Bani Umayyah sibuk meredam kekacauan dan kerusuhan massa di sana-sini, Imam Muhammad Al-Baqir as mendapatkan kesempatan yang baik untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, membina kader-kader, dan mengokohkan ajaran-ajaran Ahlulbait as.
Pada zaman Imam as, telah muncul sebagian murid-murid utama beliau yang memiliki peranan besar dalam penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Di antara mereka yang paling menonjol ialah:
1. Aban bin Taghlib
Ia pernah hidup sezaman dengan tiga imam Ahlulbait. Ia juga pernah menghadiri majelis Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Muhammad Al-Baqir as, dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Namun begitu, ia lebih banyak belajar pada Imam Al-Baqir as.
Aban menonjol di bidang ilmu Fiqh, Hadis, Sastra Arab, Tafsir, dan Nahwu. Imam Al-Baqir as pernah berkata kepadanya, “Duduklah di masjid Madinah dan ajarilah masyarakat, karena sesungguhnya aku lebih suka melihat orang sepertimu di antara pengikutku.”
2. Zurarah bin A’yun
Tentang Zurarah, Imam Ja’far as mengatakan, “Sekiranya tidak ada Zurarah, niscaya hadis-hadis ayahku akan hilang.”
Dalam kesempatan yang lain, Imam as menyatakan, “Semoga Allah mengasihi dan merahmati Zurarah bin A’yun. Seandainya tidak ada Zurarah dan orang-orang sepertinya, tidak akan ada yang tersisa lagi hadis-hadis ayahku.”
3. Muhammad bin Muslim Ats-Tsaqafi
Imam Ja’far Ash-Shadiq as sangat menghormati dan mencintai Muhammad. Dia adalah salah seorang sahabat utama dari empat orang sahabat Imam Ja’far as. Beliau berkata, “Empat orang manusia yang sangat aku cintai, baik mereka masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.”
Imam Ja’far as memerintahkan sebagian sahabat-sahabatnya untuk merujuk kepada Muhammad dengan perkataannya, “Ia telah mendengarkan hadis-hadis ayahku, dan dia orang terpandang di sisi ayahku.”
Muhammad bin Muslim sendiri pernah menyatakan, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad Al-Baqir as tentang tiga puluh ribu hadis.”
Imam Ja’far as seringkali memuji sahabat-sahabat ayahnya. Beliau mengatakan, “Sekiranya sahabat-sahabatku mendengarkan dan taat kepadaku, niscaya akan aku titipkan kepada mereka apa yang ayahku titipkan pada sahabat-sahabatnya. Sesungguhnya semua sahabat ayahku menjadi penghias bagi kami, di masa hidupnya maupun matinya.”
Di antara sahabat Imam Muhammad Al-Baqir as yang lain adalah Al-Kumait Al-Asady, seorang pujangga ternama. Setiap kali berjumpa dengannya, Imam Al-Baqir as memanjatkan doa, “Ya Allah! Curahkanlah ampunan-Mu kepada Al-Kumait!”
Hari Kesyahidan
Meskipun usaha Imam Muhammad Al-Baqir as hanya tercurahkan di bidang-bidang ilmu pengetahuan dan penyebaran agama, akan tetapi para penguasa Bani Umayyah tidak bisa tenang melihat keberadaannya, khususnya setelah orang-orang mengetahui keutamaan, keluhuran, dan keluasan ilmu beliau. Kepribadian, akhlak, dan rasa kemanusiannnya menyinari mereka. Sebagaimana dari silsilah nasab beliau yang bersambung langsung ke Rasulullah saw, semua itu mengangkat kedudukannya di hati umat Islam menjadi begitu tinggi nan agung.
Begitu pula bagi Hisyam bin Abdul Malik. Dia senantiasa berpikir untuk membunuh Imam Al-Baqir as. Akhirnya, dia gunakan racun untuk membunuh beliau. Di tangannyalah Imam as syahid pada 7 Dzulhijjah 114 H.
Imam Muhammad Al-Baqir as telah menjalani masa hidupnya selama 57 tahun untuk mengabdi sepenuhnya kepada Islam dan kaum muslimin serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan ajaran Ahlulbait as.[]
Mutiara Hadis Imam Al-Baqir as
• “Kesombongan tidak akan masuk ke dalam hati seseorang kecuali akalnya kurang.”
• “Seorang alim yang mengamalkan ilmunya adalah lebih utama dari seribu orang ‘abid (yang tekun ibadah). Demi Allah, kematian seorang alim lebih disukai oleh iblis daripada kematian tujuh puluh orang ‘abid.”
• Kepada salah seorang anaknya, beliau mengatakan, “Wahai anakku, jauhilah kemalasan dan kebosanan, karena keduanya adalah kunci segala keburukan. Sesungguhnya bila kamu malas, niscaya engkau tidak akan pernah menunaikan tanggung jawabmu, dan bila kamu bosan niscaya engkau tidak akan bersabar dalam melaksanakan tugasmu.”
• “Cukuplah besarnya aib seseorang tatkala ia memandang aib orang lain sementara aibnya sendiri tidak pernah ia lihat. Dan cukuplah besarnya aib seseorang tatkala ia memerintahkan orang lain akan suatu yang ia sendiri tidak mampu mengembannya.”
• Dalam nasihat untuk salah seorang sahabatnya, Imam as mengatakan, “Aku wasiatkan kepadamu lima perkara: bila engkau dianiaya, maka janganlah kau membalasnya, bila engkau dikhianati, maka janganlah kau balas dengan khianat pula, bila kau didustai, maka janganlah kau balas dengan dusta pula, bila engkau dipuji, maka janganlah kau merasa puas, dan bila kau dicela, maka janganlah kau bersedih.”