Atas dasar sejumlah kewajiban tersebutlah mereka tidak dibebankan mencari nafkah. Para istri hanya bertugas sebagai pelaksana rumahtangga, menjalankan sejumlah kewajiban sesuai amanah suami. Sementara suami, adalah pencari nafkah guna memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ia adalah pemimpin atas istri dan anak-anaknya. Orang yang bertanggungjawab atas hidup dan kehidupan keluarganya. Menilik beban yang berat itulah, bisa dimaklumi bila urusan rumahtangga tak mungkin bisa dilakukan para suami. Akan sangat repot bila di luar rumah mereka harus mencari nafkah seharian, sementara di rumah juga harus terlibat urusan rumahtangga secara penuh.
Para ulama berpendapat, istri adalah obyek penerima, bukan pencari, penyedia dan pelaksana kebutuhan rumahtangga. Konsekwensinya, segala urusan rumahtangga, sekecil apa pun, tak wajib dikerjakan istri, melainkan sang suami.Sebagai makmum, istri seyogyanya membantu suaminya dengan mengerjakan segala urusan rumahtangga. Apalagi bila para istri memang sehari-hari berada di rumah, tidak keluar mencari nafkah seperti suami mereka. Dan inilah yang jamak dipahami oleh seluruh keluarga di belahan dunia manapun. Tak terkecuali dalam kehidupan rumahtangga keluarga muslim.
Akan tetapi, para ulama mazhab memiliki pandangan yang berbeda dengan kelaziman tersebut. Menurut mereka, yang mencari nafkah dan pemenuh kebutuhan yang meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya yang layak, adalah sepenuhnya kewajiban suami. Dengan kata lain, kewajiban mereka tidak sebatas memberikan uang belanja kepada istrinya semata, melainkan urusan memasak, mencuci, bersih-bersih rumah pun adalah tanggung jawab para suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah swt, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa' : 34)
Ahmad Sarwat LC, sebagaimana dilansir www.warnaislam.com/syariah/pernikahan merincinya sebagai berikut:
-Mazhab Hanafi
Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan bahwa seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka si istri tidak boleh dipaksa. Sebab suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.
Tidak hanya itu. Di dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan bahwa seandainya seorang istri berkata, "Saya tidak mau masak dan membuat roti", si istri pun tetap tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami, harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
- Mazhab Maliki
Dalam kitab Asy-syarhul Kabir disebutkan bahwa wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Walaupun, misalnya, suami memiliki keluasan rezeki dan istrinya pun punya kemampuan untuk melayani suaminya, namun tetap saja kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami tetap merupakan pihak yang wajib melayani. Dalam kondisi suami yang memang mampu secara finansial, wajib atas suami untuk menyediakan pembantu bagi istrinya.
- Mazhab Syafi'i
Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi menyebutkan bahwa tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk pelayanan lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
- Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Karena yang ditekankan hanya kewajiban pelayanan seksual, maka pelayanan dalam bentuk selain itu, tidak wajib dilakukan istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanaman, misalnya.
- Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori Daud Adz-Dzahiri ini, para ulama juga berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni dan membuat roti, memasak dan memberikan pelayanan lain yang sejenisnya, sekalipun suaminya anak seorang petinggi/pejabat. Suami tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan makanan dan minuman yang siap santap bagi istrinya, baik untuk makan pagi maupun makan malam, serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pandangan para ulama mazhab ini seirama dengan potret kehidupan rumahtangga Rasulullah saw dan para sahabat. Rasulullah menjahit sendiri bajunya yang robek, membersihkan rumah padahal ia juga mencari nafkah untuk keluarganya.
Sa’ad bin Amir, sahabat yang diangkat Umar bin Khattab menjadi gubernur di kota Himsh, dikomplain warganya gara-gara sering telat datang bertugas. Ia berkilah sangat kerepotan karena tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh menyediakan keperluan untuk istrinya.
Berbeda dengan Saad, Asma' binti Abu Bakar diberi pembantu oleh ayahnya. Abu Bakar menyediakan pembantu oleh karena suami Asma’ tidak mampu menyediakannya. Langkah ini, setidaknya bisa meringankan kewajiban suami Asma’ dalam hal nafkah kepada Asma’.
Sedekah Istri
Bila istri tetap melakukan pekerjaan rumahtangga untuk keluarganya, menurut para ulama, dinilai sedekah baginya. Mengapa? Sebab yang ia lakukan atas dasar kerelaan hati membantu suaminya. Sejarah menunjukkan bahwa putri Rasulullah, Fatimah, melakukan sendiri seluruh aktivitas rumah tangganya. Sang ayah, bukan tidak mampu menyediakan pembantu. Namun Rasul menganggap bahwa yang dilakukan Fatimah menjadi tabungan amalnya di Hari Akhir. "Aku bisa memberimu seribu budak, namun setiap tetes keringat yang kau keluarkan untuk mengurus rumah, balasannya adalah surga." Demikianlah Rasul menjanjikan anak yang paling dikasihinya itu.Sebab itulah Fatimah berujar, “Wahai kaum wanita. Seandainya engkau mengerti kewajiban terhadap suamimu, tentu seorang istri akan menyapu debu dari kedua telapak kaki suaminya dengan sebagian mukanya.”
Pandangan Berbeda
Beban berat yang ditanggung suami dalam hal mencari nafkah agaknya membuat ulama fiqih kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradlawi mengeluarkan pandangan yang berbeda. Menurutnya, istri tetap wajib melayani suami di luar urusan pelayanan seksual. Istri tetap wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Bentuk pelayanan tersebut semata-mata merupakan imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada istrinya. Nafkah yang bukan hanya meliputi kebutuhan rumahtangga seperti kebutuhan dapur, makanan, pakaian, serta kebutuhan rumah tangga lainnya, melainkan nafkah yang mutlak diberikan kepada istri, di luar semua kebutuhan rumah tangga.Hubungan Cinta Kasih
Silang pendapat para ulama boleh saja mewarnai persoalan wajib tidaknya istri mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Namun di luar itu, patut disadari pula bahwa relasi yang dibangun antara istri dengan suaminya adalah hubungan cinta, kasih sayang, kerelaan, saling memiliki, saling tolong; senasib sepenanggungan. Apa yang dilakukan keduanya bertujuan ingin saling membahagiakan. Sehingga istri yang pada dasarnya boleh jadi tidak punya kewajiban mengurus rumahtangga, dengan rela melayani suaminya, memasak untuk suami, mencuci baju suami. Semua dilakukan semata-mata karena cinta dan sayang. Di luar itu, ia pun akan diganjar pahala dari apa yang dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu, suami menjadi senang dan ridha kepadanya.Kalaupun memang urusan rumahtangga menjadi wajib dilakukan istri, suami semestinya tidak lupa bahwa urusan rumahtangga memiliki jam kerja tak berbatas. Tidak seperti halnya suami yang bekerja di luar rumah dan mendapat upah atas apa yang dikerjakannya. Untuk itu, teramat wajar bila ia harus mendapat nafkah atas apa yang dikerjakannya. Toh semua yang ia kerjakan pun agar suami bisa berkonsentrasi penuh mencari nafkah. Juga, agar kehidupan rumah tangga berjalan seimbang dan harmonis. Menjadi sakinah mawaddah wa rahmah. [Berbagai sumber]
0 komentar:
Posting Komentar