(Oleh: Abu Ihsan Al-Atsari)
Benteng kaum Muslimin diserang dari dalam, kira-kira begitulah ungkapan yang dirasakan umat ini atas kejahatan ahli bid’ah khususnya Syiah terhadap Islam, Sunnah dan Ahlu Sunnah. Pengkhianatan dan kekejaman yang dilakukan oleh ahli bid’ah terhadap Islam dan kaum Muslimin sangat banyak terjadi. Ini tidak lain dilandasi oleh keyakinan mereka yang mengkafirkan dan menghalalkan darah orang-orang yang berada di luar kalangan mereka. Kurangnya penghormatan mereka terhadap kehormatan, harta dan darah kaum Muslimin dan kesembronoan mereka dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap siapa saja yang tidak sepaham menjadi alasan mereka melakukan semua itu.
Tercatat di awal sejarah Islam dua kelompok bid’ah yang melakukan hal tersebut, yaitu Syiah dan Khawârij. Akibat dari tindakan pengkhianatan mereka tersebut banyak Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum yang terbunuh. Mereka tak segan-segan menghalalkan darah Sahabat radhiyallâhu'anhum, para Ulama dan orang shalih dengan alasan yang mengada-ada tanpa rasa takut dan rasa malu sedikit pun terhadap Allâh Ta'âla.
Sejak awal kemunculan kelompok-kelompok bid’ah ini selalu yang menjadi incaran dan targetnya adalah Ahlu Sunnah. Kelompok-kelompok bid’ah itu rela melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka walaupun dalam masalah yang prinsipil untuk bekerja sama dalam mematikan Sunnah dan menghancurkan Ahlu Sunnah, begitulah sejarah berbicara. Khususnya pada abad ke-4 Hijriyah ketika mulai berdirinya daulah Syiah di beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah pegunungan. Seiring dengan semakin gencarnya gerakan dakwah mereka ditambah lagi semakin lemahnya daulah Ahlu Sunnah pada masa itu.
SYIAH, MUSUH DALAM SELIMUT
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh telah menjelaskan fenomena ini dalam kitabnya ketika menyebutkan biografi salah seorang tokoh Syiah yaitu Ibnu Nu’mân:
“Ibnu Nu’mân ini adalah seorang tokoh Syiah dan pembela mereka. Ia punya kedudukan di kalangan penguasa-penguasa daerah karena mayoritas penduduk di daerah-daerah tersebut pada masa itu mulai condong kepada tasyayyu’ (Syi’ah). Di antara muridnya adalah asy-Syarîf ar-Râdhi dan al-Murtadhâ.”[1]
Beberapa sekte, seperti Ismâ’îliyah, Buwaihiyah, Qarâmithah dan lain-lainnya memakai jubah Syiah ini untuk meraih tujuannya. Contoh kasusnya adalah yang terjadi di Afrika utara, salah seorang juru dakwah Syiah yang bernama Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Zakariya ash-Shan’âni yang berjuluk Abu ‘Abdillâh asy- Syî’i masuk ke wilayah Afrika seorang diri tanpa harta dan tanpa satu pun orang yang mendampinginya. Ia terus melakukan kegiatan dakwah di sana hingga ia berhasil menguasainya.[2]
Abu ‘Abdillâh asy-Syîi’i inilah yang berhasil meyakinkan kaum Muslimin untuk menerima ‘Ubaidullâh al-Qaddah sebagai imam dakwah sehingga mereka membaiatnya. Lalu ‘Ubaidullâh ini menggelari dirinya sebagai al-Mahdi dan mendirikan daulah ‘Ubaidiyah yang kemudian lebih dipopulerkan dengan sebutan sebagai daulah Fâthimiyyah. Padahal pada hakekatnya merupakan daulah yang beraliran bathiniyah.
Di antara kejahatan yang dilakukan oleh ‘Ubaidullâh ini, suatu kali kudanya masuk ke dalam masjid. Lalu rekan-rekannya ditanya tentang hal itu, mereka menjawab, “Sesungguhnya kencing dan kotoran kuda itu suci, karena ia adalah kuda al-Mahdi (yakni ‘Ubaidullâh). Pengurus masjid mengingkari hal itu, sehingga mereka pun membawanya ke hadapan ‘Ubaidullâh al-Mahdi, dan akhirnya ia menghabisi pengurus masjid tersebut.
Ibnu ‘Adzâra rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya di akhir hayatnya ‘Ubaidullâh ini ditimpa sebuah penyakit yang mengerikan yaitu adanya cacing yang keluar dari duburnya dan kemudian memakan kemaluannya. Begitulah keadaannya hingga kematian merenggutnya.”[3]
Abu Syâmah rahimahullâh berkomentar tentang ‘Ubaidullâh ini dengan berkata, “Ia adalah seorang zindiq (kafir), khabîts (sangat buruk), dan merupakan musuh Islam. Menunjukkan diri sebagai Syiah dan berupaya keras untuk menghilangkan agama Islam. Ia banyak membunuh Fuqahâ’, ahli hadits, orang-orang shalih dan banyak manusia lainnya. Anak keturunannya tumbuh dengan pola pikir seperti itu dan apabila ada kesempatan mereka akan menunjukkan taringnya, jika tidak maka mereka akan menyembunyikan diri.”[4]
Adz-Dzahabi rahimahullâh berkata, “Duhai kiranya kalau ia hanya seorang penganut Syiah saja, tetapi ternyata di samping itu ia juga seorang zindiq.”[5]
Para ulama yang telah mereka bunuh di antaranya adalah Abu Bakar an-Nâbilisi, Muhammad bin al-Hubulli, Ibnu Bardûn yang dibunuh oleh Abu ‘Abdillâh asy-Syî’i. Sementara Ibnu Khairûn Abu Ja’far Muhammad bin Khairûn al-Mu’âfiri tewas di tangan ‘Ubaidullâh al-Mahdi.
Di antara penguasa mereka yang telah banyak membunuh para Ulama adalah al-‘Adhid, penguasa terakhir Bani ‘Ubaid. Ibnu Khalikân rahimahullâh berkata tentang orang ini, “al-‘Adhid ini orang yang sangat kental Syi’ahnya, sangat keterlaluan dalam mencaci maki Sahabat Nabi, apabila ia melihat seorang Sunni (Ahlu Sunnah), ia menghalalkan darahnya.”[6]
Salah satu sekte yang menimpakan berbagai bala terhadap Ahlu Sunnah adalah Buwaihiyah. Sekte ini dinisbatkan kepada Buwaihi bin Fannakhasru ad-Dailami al-Fârisi. Berkuasa di Irak dan Persia lebih kurang satu abad ketika kekhalifahan ‘Abbasiyah sedang melemah di Baghdad. Sekte ini juga menunjukkan kefanatikannya kepada ajaran Syi’ah. Bahkan mereka memotivasi orang-orang Syiah di Baghdad untuk melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap Ahlu Sunnah. Hampir tiap tahun terjadi pertikaian dan benturan-benturan antara kaum Syiah dan Ahlu Sunnah. Sehingga banyak korban jiwa jatuh dan menimbulkan kerugian materiil yang besar, toko-toko dan pasar-pasar dibakar.
Untuk menunjukkan hegemoni dan dominasi mereka atas Ahlu Sunnah, pada tahun 351 H kaum Syiah di Baghdad dengan dukungan dari Mu’izzud Daulah mewajibkan masjid-masjid untuk melaknat Mu’awiyah radhiyallâhu'anhu dan tiga Khalifah Râsyid (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallâhu'anhum). Sebuah ketetapan yang tak mampu dicegah oleh kekhalifahan ‘Abbasiyah.[7]
Bahkan pada tahun 352 H, Mu’izzud Daulah menyuruh kaum Muslimin untuk menutup toko-toko mereka, mengosongkan pasar, meliburkan jual-beli dan menyuruh mereka untuk meratap. Para wanita disuruh keluar tanpa penutup kepala dan wajah dicoreng-moreng, lalu berkeliling kota sambil meratap dan menampar-nampar pipi atas kematian Husain bin ‘Ali radhiyallâhu'anhu. Maka kaum Muslimin pun melakukannya, sementara Ahlu Sunnah tidak mampu mencegahnya karena banyaknya jumlah kaum Syiah dan kekuasaan kala itu berada di tangan mereka (di tangan kaum Buwaihiyyun).[8] Sehingga Imam adz-Dzahabi rahimahullâh sampai berkomentar, “Sungguh telah terlantar urusan agama Islam dengan berdirinya daulah Bani Buwaihi dan Bani ‘Ubaid yang bermadzhab Syiah ini. Mereka meninggalkan jihad dan mendukung kaum Nasrani Romawi dan merampas kota Madâin.”[9]
Di antara sekte Syiah adalah Syiah Ismâ’iliyah. Setelah wafatnya Ja’far bin Muhammad ash-Shâdiq, kaum Syiah terpecah dua kelompok. Satu kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ al-Kâzhim, mereka inilah yang kemudian disebut Syiah Itsnâ ‘Asyariyah (aliran Syiah yang meyakini adanya imam yang berjumlah dua belas orang, red). Dan satu kelompok lagi menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il bin Ja’far, kelompok ini kemudian dikenal sebagai Syiah Ismâ’iliyah. Kadang kala mereka dinisbatkan kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan juga dengan Qarâmithah. Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Ismâ’iliyah.[10]
Adapun Qarâmithah sendiri adalah penisbatan kepada Hamdân Qirmith. Kemudian pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Di antara tokoh mereka yang menimpakan fitnah besar terhadap kaum Muslimin adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan al-Janâbi.
Mereka inilah yang bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar untuk melawan Islam dan kaum Muslimin. Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan aksi-aksi yang membuat bulu kuduk merinding; berupa perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan. Bahkan kekejaman seperti itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum Nasrani sekalipun.
Pada tahun 312 H, mereka menghadang kafilah haji yang hendak kembali ke Irak. Mereka merampas kendaraan kafilah itu, bekal-bekal dan harta benda yang mereka bawa, dan meninggalkan rombongan haji begitu saja sehingga kebanyakan dari mereka mati kehausan dan kelaparan.[11]
Dan pada tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Harâm, dan membunuhi para jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat-mayat ke sumur Zamzam. Mereka membunuh orang-orang di jalan-jalan kota Mekah dan sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai tiga puluh ribu jiwa. Bahkan ia merampas kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada pasukannya. Ia menjarah rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota daulah mereka di Bahrain).[12]
Imam Ibnu Katsir rahimahullâh merekam kekejaman yang dilakukan oleh Abu Thâhir al-Janâbi al-Bâthini ini dengan berkata, "Ia menjarah harta penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. Ia membunuhi manusia di rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni Abu Thâhir –semoga Allâh Ta'âla melaknatnya- duduk di pintu Ka’bah, sementara orang-orang disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan membantai orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thâhir ini berseru, 'Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang mematikan mereka!'. Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thâhir ini. Di antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun itu tidak menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap ditebas habis dalam keadaan seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang bertawaf…"
Beliau melanjutkan, “Setelah pasukan Qarâmithah ini melakukan aksi brutal mereka itu –semoga Allâh Ta'âla melaknat mereka- dan perbuatan keji mereka terhadap para jamaah haji, Abu Thâhir ini menyuruh pasukannya agar melemparkan mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam. Dan sebagian lain dikubur di tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di dalam Masjidil Haram. Lalu kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu Thâhir memerintahkan agar mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk ia koyak-koyak dan bagikan kepada pasukannya.”[13]
Dan jangan lupa juga pengkhianatan mereka terhadap Khalifah al-Musta’shim Billâh yang dilakoni oleh Muhammad bin al-Alqami dan Nâshiruddîn ath- Thûsi, yang anehnya kedua orang ini dianggap pahlawan oleh orang-orang Syi’ah.
Keruntuhan kota Baghdad yang kala itu merupakan ibukota Daulah Abbasiyah di tangan pasukan Tatar tak lepas dari konspirasi yang dilakukan oleh Ibnul Alqami dan ath-Thûsi. Hal ini didorong dendam kesumat Ibnul Alqami ini terhadap Ahlu Sunnah. Pasalnya, pada tahun 656 H terjadi peperangan hebat antara Ahlu Sunnah dan Syiah yang berujung dengan takluknya kota Karkh yang merupakan pusat kegiatan kaum Syiah dan beberapa rumah sanak keluarga al-Alqami menjadi korban penjarahan.
Ia sangat berambisi meruntuhkan kekuatan Ahlu Sunnah dan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, walaupun harus bersekutu dengan pasukan musuh dan berkhianat terhadap khalifah. Hal itu ia lampiaskan ketika ia memegang jabatan kementrian bagi Khalifah al-Musta’shim Billâh, ia memberi jalan bagi pasukan Tatar untuk masuk Baghdad.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H, ketika Hulago Khan dan pasukannya yang berjumlah dua ratus ribu personil mengepung Baghdad dan menghujani istana khalifah dengan anak panah. Pengamanan sekitar istana saat itu lemah karena sebelum terjadinya peristiwa ini, Ibnul Alqami secara diam-diam telah mengurangi jumlah personil tentara khalifah dengan cara memecat sejumlah besar perwira dan mencoret nama mereka dari dinas ketentaraan. Pada masa kekhalifahan sebelumnya, yaitu Khalifah al-Mustanshir, jumlah pasukan mencapai 100.000 personil. Sementara pada masa al-Musta’shim Billâh jumlahnya menyusut menjadi 10.000 personil saja.
Kemudian Ibnul Alqami ini mengirim surat rahasia kepada bangsa Tatar dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Ia sebutkan dalam surat rahasia itu kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah di Baghdad. Itulah sebabnya bangsa Tatar dengan sangat mudah dapat merebutnya.
Ketika pasukan Tatar mulai mengepung Baghdad sejak tanggal 12 Muharram 656 H, saat itulah Ibnul Alqami melakukan pengkhianatannya untuk kesekian kali. Dialah orang pertama yang menemui pasukan Tatar. Lalu ia keluar bersama keluarganya, pembantu serta pengikutnya pada saat-saat kritis itu untuk menemui Hulago Khan dan mendapat perlindungan darinya. Kemudian ia membujuk Khalifah agar ikut keluar bersamanya menemui Hulago Khan untuk mengadakan perdamaian, yaitu memberikan separoh hasil devisa negara kepada bangsa Tatar.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para Qadhi, Fuqâha’, tokoh-tokoh negara dan masyarakat serta para pejabat tinggi negara lainnya dengan 700 kendaraan. Ketika sudah mendekati markas Hulago Khan, mereka ditahan oleh pasukan Tatar dan tidak diizinkan menemui Hulago Khan kecuali hanya Khalifah bersama 17 orang saja. Permintaan ini dipenuhi oleh Khalifah. Ia berangkat bersama 17 orang sementara yang lain menunggu. Sepeninggal Khalifah, sisa rombongan itu dirampok dan dibunuh oleh pasukan Tatar. Selanjutnya Khalifah dibawa ke hadapan Hulago Khan seperti seorang pesakitan yang tak berdaya.
Kemudian atas permintaan Hulago Khan, Khalifah kembali ke Baghdad ditemani oleh Ibnul Alqami dan Nâshiruddîn ath-Thûsi. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat, Khalifah mengeluarkan emas, perhiasan dan permata dalam jumlah yang sangat banyak. Namun tanpa disadari oleh Khalifah, para pengkhianat dari Syiah ini telah membisiki Hulago Khan agar menampik tawaran damai dari Khalifah. Ibnul Alqami ini berhasil meyakinkan Hulago Khan dan membujuknya untuk membunuh Khalifah. Dan tatkala Khalifah kembali dengan membawa perbendaharaan negara yang banyak untuk diserahkan, Hulago Khan memerintahkan agar Khalifah dieksekusi. Dan yang mengisyaratkan untuk membunuh Khalifah adalah Ibnul Alqami dan ath-Thûsi.
Dengan terbunuhnya Khalifah pasukan Tatar leluasa menyerbu Baghdad tanpa perlawanan berarti. Maka jatuhlah Baghdad ke tangan musuh. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas saat itu lebih kurang dua juta orang. Tidak ada yang selamat kecuali Yahudi, Nashrani dan orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Tatar, atau berlindung di rumah Ibnul Alqami dan orang-orang kaya yang menebus jiwa mereka dengan menyerahkan harta kepada pasukan Tatar.[14]
SEBUAH PELAJARAN BERHARGA
Melalui rekaman sejarah yang telah dipaparkan para Ulama, menyerahkan amanat dan jabatan kepada kaum Syiah merupakan tindakan bunuh diri yang membahayakan umat. Karena sejarah telah membuktikan pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap kaum Muslimin, khususnya kepada Ahlu Sunnah.
Al-Baghdâdi rahimahullâh telah menjelaskan secara ringkas permusuhan kaum Syiah Bathiniyah ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. Beliau berkata, “Ketahuilah –semoga Allâh membuatmu bahagia– sesungguhnya bahaya yang ditimbulkan oleh kaum Bathiniyah terhadap kaum Muslimin lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan oleh kaum Yahudi, Nashrani maupun Majusi. Bahkan lebih besar daripada kaum Dahriyah (atheis) serta kelompok-kelompok kafir lainnya. Bahkan lebih besar daripada bahaya yang ditimpakan oleh Dajjal yang muncul di akhir zaman. Karena orang-orang yang tersesat akibat dakwah Bathiniyah ini sejak awal mula munculnya dakwah mereka sampai hari ini lebih banyak daripada orang-orang yang disesatkan oleh Dajjal pada waktu munculnya nanti. Karena fitnah Dajjal tidak lebih dari empat puluh hari, sementara kejahatan kaum Bathiniyah ini lebih banyak daripada butiran pasir dan tetesan hujan.”[15]
Kaum Bathiniyah ini sengaja memilih ajaran Syiah sebagai alat untuk beraksi karena adanya kecocokan dengan ambisi dan keinginan mereka. Karena mereka tidak menemukan jalan masuk kepada Islam kecuali dengan menampakkan ajaran Syiah ini dan menisbatkan diri kepada agama Syiah. Abu Hamid Al-Ghazâli rahimahullâh mengungkapkan, “Telah sukses diadakan pertemuan di antara pengikut-pengikut ajaran Majusi dan Mazdakiyah dari kalangan kaum Tsanawiyah yang mulhid (kafir) serta sekelompok besar kaum filsafat mulhid –ad-Dailami menambahkan– dan sisa-sisa pengikut ajaran Kharamiyah serta kaum Yahudi. Mereka disatukan dengan satu slogan yaitu membuat tipu daya untuk menolak Islam. Mereka berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah mengalahkan kita dan menghapus agama kita. Carilah sekutu untuk menghadapinya karena kita tidak mampu secara frontal untuk menghadapi mereka. Kita tidak bisa berhasil merebut kekuasaan yang ada di tangan kaum Muslimin dengan senjata dan peperangan. Karena kekuatan mereka dan banyaknya personil pasukan mereka. Demikian pula kita tidak mampu untuk beradu argumentasi dengan mereka karena mereka memiliki Ulama, fudhala’ dan ahli tahqiq. Tidak ada cara kecuali melakukan makar dan tipu daya.
Kemudian mereka membuat rancangan dan program untuk mencapai tujuan ini. Dan di antara cara yang mereka tempuh adalah masuk ke tengah kaum Muslimin melalui jalan tasyayyu’ (ajaran Syi’ah). Walaupun mereka juga menganggap bahwa kaum Syiah ini sesat, hanya saja mereka itu adalah orang yang paling dangkal akalnya, paling konyol logikanya, paling mudah untuk menerima perkara-perkara yang mustahil, paling percaya dengan riwayat-riwayat dusta yang mereka buat, serta yang paling mudah untuk menerima riwayat-riwayat palsu. Apalagi dalam ideologi Syiah ini terdapat ajaran taqiyah (bermuka dua) yang sangat mereka perlukan untuk menjalankan misi mereka. Maka mereka pun bersembunyi di balik ajaran ini untuk melemahkan Islam dan kaum Muslimin. Sehingga tampilan luar mereka adalah Syiah, tetapi batin mereka berisi kekufuran (terhadap Islam).[16]
Itulah sedikit dari fakta sejarah yang sudah terjadi. Sebenarnya masih banyak lagi sejarah hitam kekejaman ahli bid’ah ini (kaum Syiah) terhadap Ahlu Sunnah khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Kita harus mengambil pelajaran dari masa lalu agar tidak berulang pada masa mendatang. Karena sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak boleh jatuh dalam satu lobang berulang kali, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Wallâhu a’lam.
(Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII)
0 komentar:
Posting Komentar